Tes HIV babi calon pengantin tidak cukup untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Karawang karen tes HIV bukan vaksin Â
Pemerintah Kabupaten Karawang, Jawa Barat diminta untuk membuat aturan agar diwajibkan tes HIV/AIDS bagi pasangan yang hendak menikah atau pra nikah. Ini ada dalam berita "Aktivis Panik Lihat Perkembangan Kasus HIV/AIDS, Minta Pemkab Karawang Buat Aturan Pranikah" di wartakota.tribunnews.com (24/9-2022).
Alasan untuk mewajibkan tes sebelum menikah, seperti dilansir dalam berita: Pasalnya, langkah itu dilakukan guna mencegah penularan HIV/AIDS yang semakin bertambah banyak di Karawang.
Apakah penularan HIV/AIDS di Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar) hanya terjadi pada pasangan suami-istri?
Menurut aktivis pencegahan dan perawatan penyakit menular seksual, Iwan Somantri Amintapradja, sebanyak 260 Ibu Rumah Tangga (IRT) dan 43 Balita di Kabupaten Karawang terdeteksi virus HIV.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Iwan: Apakah bisa dibuktikan 260 IRT itu tertular HIV dari suaminya karena si suami sudah mengidap HIV/AIDS sebelum menikah?
Pertanyaan lain: Apakah suami 260 IRT itu jalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya malapetaka untuk Pemkab Karawang karena 260 sumai itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Biar pun hasil tes HIV sebelum menikah menunjukkan calon suami dan calon istri HIV-negatif, itu tidak bisa jadi jaminan keduanya, terutama suami, akan terus HIV-negatif karena hasil tes HIV yang negatif sekalipun bukan vaksin HIV.
Baca juga: Tes HIV Sebelum Menikah yang (Akan) Sia-sia
Setelah menikah bisa saja seorang suami tertular HIV/AIDS karena melalukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko (Lihat matriks Risiko Suami Tertular HIV/AIDS Setelah Menikah).
Seorang suami bisa saja tertular HIV/AIDS setelah menikah dengan status HIV-negatif ketika melangsungan pernikahan karena melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko berikut ini:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),
(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,
(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,
(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,Â
(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.Â
Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah:
(11). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(12). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan bergiliran pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik, karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV bisa masuk ke jarum dan tabung.
Yang perlu diingat adalah hasil tes HIV yang negatif hanya berlaku ketika contoh darah diambil untuk tes. Setelah tes HIV bisa saja yang bersangkutan melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Ketika seorang istri yang hamil terdeteksi HIV-positif atau ketika melahirkan, maka bisa terjadi suami menuduh istrinya yang selingkuh karena dia pegang surat keterangan HIV-negatif.
Baca juga: Tes HIV sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang
Itu artinya tes HIV sebelum menikah bisa jadi bumerang bagi sebuah pasangan suami-istri.
Istri terdeteksi HIV-positif ketika hamil bisa terjadi pada pasangan dengan status HIV-negatif saat menikah (Lihat matriks Istri Melahirkan Anak dengan HIV/AIDS Setelah Menikah)
Pada rentang waktu dari acara pernikahan sampai istri hamil bisa saja suami melakukan perilaku berisiko. Begitu juga saat melahirkan anak pertama penularan terjadi setelah pernikahan. Apalagi jika HIV/AIDS terdeteksi ketika kelahiran anak kedua, ketiga dan seterusnya secara empiris menunjukkan istri tertular dari suami karena ketika menikah status HIV istri negatif.
Selain risiko penularan di wilayah Karawang, tampaknya Pemkab Karawang mengabaikan fakta terkait dengan warganya yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di luar daerah, terutama di Riau dan Kepulauan Riau (Kepri).
Baca juga: PSK dan Perantau Mudik Bisa Jadi Ada yang Bawa AIDS sebagai "Oleh-oleh"
Kalau saja Pemkab Karawang arif dan bijaksana tentu bisa menggalang kerja sama dengan Pemprov Riau dan Kepri untuk pendampingan PSK asal Karawang yang HIV-positif agar mereka tidak menularkan HIV/AIDS ketika mudik.
Selain itu yang perlu diingat tes HIV pada calon pengantin ada di hilir. Artinya, kalau salah satu atau kedua calon pengantin terdeteksi HIV-positif itu artinya mereka sudah melakukan perilaku berisiko.
Yang perlu dilakukan Pemkab Karawang adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H