Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengidap HIV/AIDS di Banten Disebut Enggan Datangi Fasilitas Layanan Kesehatan untuk Cek Kesehatan

20 September 2022   12:17 Diperbarui: 20 September 2022   12:37 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Warga Banten yang tes HIV di Fasyakes otomatis menerima obat antiretroviral (ARV) dan pengobatan untuk penyakit-penyakit lain serta konseling.

Menurutnya (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten dr Ati Pramudji Hastuti-pen.): penderita (pengidap HIV/AIDS-pen.) enggan mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengecek kesehatannya karena malu, dan ada anggapan di masyarakat jika menderita HIV/AIDS dijauhi.

Ini ada dalam berita "Dinkes: Hingga Maret 2022 Ada 13.670 Kasus HIV/AIDS di Banten" di regional.kompas.com (15/9-2022).

Sedangkan rangkuman dari laporan siha.kemkes.go.id menunjukkan sampai Desember 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Banten sebanyak 15.591 yang terdiri atas 12.233 HIV dan 3.358 AIDS. Jumlah ini menempatkan Banten pada posisi ke-9 secara nasional masih "10 besar nasional."

Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Terkait dengan pernyataan di atas semua pengidap HIV/AIDS sudah terdaftar di faslitas layanan kesehatan (Fasyankes) karena ketika menjalani tes HIV secara sukarela atau rujukan berdasarkan PITC (Provider Initiated Testing and Counselling -- pasien menunjukkan gejala penyakit terkait HIV/AIDS dirujuk tes HIV) identitas mereka sudah dicatat.

Mereka juga otomatis menerima pengobatan dengan obat antiretroviral (ATR), dan pengobatan untuk penyakit-penyakit lain serta konseling.

Secara empiris orang-orang yang menjalani tes HIV secara sukarela di Fasyankes sudah berikrar akan menghentikan penularan HIV/AIDS mulai dari diri mereka. Untuk itulah mereka menerima pengobatan dengan obat antiretroviral (ART), karena pengobatan ini merupakan salah satu cara untuk menurunkan risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual.

Maka, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Kadinkes Banten itu yang enggan mendatangi Fasyankes?

Yang banyak terjadi adalah warga yang semula mengikuti ART tapi putus di tengah jalan. Ada beberapa alasan medis dan nonmedis, tapi alasan nonmedis yang jadi persoalan yaitu karena Fasyankes yang menyediakan obat antiretroviral (ARV) jauh dari tempat tinggal mereka sehingga harus mengeluarkan biaya yang besar tiap bulan.

Ada pula pernyataan: Ati menjelaskan, sebelum tahun 2000, kebanyakan kasus HIV/AIDS disebabkan penyalahgunaan narkotika suntik.

Mengapa banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan karena penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik bergiliran?

Hal itu terjadi karena penyalahguna Narkoba yang akan menjalani rehabilitasi wajib tes HIV, sehingga banyak kasus yang terdeteksi.

Sebaliknya, tidak ada mekanisme untuk memaksa orang-orang dengan perilaku seksual berisiko untuk menjalani tes HIV.

Disebut pula: Namun saat ini, penderita HIV/AIDS kebanyakan disebabkan oleh perilaku seks bebas.

Dalam berita ini tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan 'seks bebas' karena sampai detik ini tidak satupun dari orang-orang yang selalu mengumbar 'seks bebas' bisa memberikan arti yang sebenarmya dari 'seks bebas.'

Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Lagi pula penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (vaginal, anal dan oral) bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, seks pranikah, selingkuh, homoseksual dan lain-lain), tai karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta (Lihat matriks Sifat dan kondisi hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Informasi tentang HIV/AIDS di Indonesia tidak akurat karena dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama serta tidak berpijak pada fakta medis sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Disebutkan pula: Adapun upaya pencegahan yakni dengan meningkatkan akses layanan kesehatan dan memberikan edukasi kepada masyarakat beresiko agar mau mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengeceknya.

Tes HIV adalah langkah di hilir, sedangkan yang diperlukan adalah langkah pencegahan di hulu untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual berisiko (Lihat matriks penanggulangan di hulu dan hilir).

Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)
Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Kasus HIV/AIDS pada kalangan homoseksual secara empiris ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri.

Bandingkan dengan seorang laki-laki heteroseksual jika mengidap HIV/AIDS karena mereka mempunyai istri, bahkan ada yang istrinya lebih dari satu, selingkuhan dan pelanggan PSK. Penyebaran HIV/AIDS terjadi secara masif di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi pernyataan: Nah itu lah kita harus banyak lagi mencari, penemuan ini belum menggambarkan sesungguhnya. Jadi dari estimasi telah ditetapkan baru separonya kita mencapai itu, kita terus mencari," tandas Ati.

Pertanyaannya adalah: Apa dan bagaimana langkah Dinkes Banten untuk mencari warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi?

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan. Itu artinya warga Banten yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi secara diam-diam yang bisa dikatakan sebgai silent disaster (bencana terselubung) karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang tidak tertedeteksi tidak menyadari dirnya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala terkait HIV/AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka.

Penyebaran diam-diam jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Banten. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun