Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Odha di Jawa Tengah Tidak Perlu Lapor Karena Data Mereka Sudah Ada di Yankes

17 September 2022   08:29 Diperbarui: 17 September 2022   08:37 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 – Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Warga yang melakukan tes HIV di Klinik VCT di Yankes pemerintah sudah terdata dan mereka juga menerima pengobatan dengan obat antiretroviral (ART)

"Ganjar Pranowo Dorong Orang dengan HIV/AIDS Berani Lapor" Ini judul berita di republika.co.id (3/9-2022).

Astaga, ini kok kayak perkara kriminal saja.

Disebutkan dalam berita: Ganjar khawatir kasus terus naik, apabila banyak ODHA yang takut melapor petugas.

Yang bikin kasus terus naik bukan karena Odha yang tidak mau melapor ke petugas (petugas apa, ya?- pen.).

Secara empiris semua warga di Jawa Tengah (Jateng) khususnya dan Indonesia umumnya yang sudah terdeteksi HIV/AIDS tidak perlu lagi lapor karena data mereka sudah ada di unit-unit pelayanan kesehatan (Yankes) tempat mereka menjalani tes HIV secara sukarela.

Klinik-klinik VCT yang ada di Yankes, seperti Puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD) mencatat indentas warga yang jalani tes HIV.

Bagi yang hasil tes negatif akan dikonseling agar tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sedangkan bagi yang hasil tes HIV-nya positif akan dikonseling terkait dengan menjaga kesehatan dan pengobatan dengan obat antiretroviral (ART).

Dulu Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) memberi syarat ART dengan patokan sejak terdeteksi HIV-positif.

Kalau kemudian ada yang putus obat, seharusnya Pemprov Jateng, dalam hal Dinkes Jateng, mencari tahu penyebabnya. Di beberapa daerat putus ART karena terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan setiap untuk mengambil obat ARV ke Yankes tertentu.

Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 – Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 – Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Dalam berita disebutkan: Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendorong orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berani melapor untuk menekan penularan atau risiko kematian. Ganjar mengaku khawatir kasus tersebut bisa terus naik, apabila banyak ODHA yang enggan atau masih takut melapor petugas.

Terkait dengan penularan HIV/AIDS melalui Odha sebenarnya sebelum tes HIV mereka sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya.

Yang jadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru (di hulu) melalui perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom. 

Apakah ada langkah konkret Pemprov Jateng untuk menutup 'pintu masuk' HIV/AIDS di atas?

Kalau tidak ada, maka kasus HIV/AIDS akan terus bertambah di Jawa Tengah apalagi ada warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.

Mereka itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, yang perlu dilakukan Pemprov Jateng adalah membuat regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS.

Ini juga ada dalam berita: Tingginya temuan kasus baru HIV di Jateng itu sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan kesehatan dan bahaya penyakit tersebut. Hal itu dibuktikan dengan makin banyak warga yang melakukan voluntary counselling test (VCT) atau tes HIV/AIDS sehingga banyak yang terdeteksi.

Apakah benar kasus HIV/AIDS yang terdeteksi karena orang per orang yang khusus datang ke klinik VCT untuk tes HIV?

Selam ini kasus-kasus baru terdetek pada orang yang dijangkau melalu berbagai komunitas, seperti waria dan gay.

Selain itu ada program PITC (Provider Initiated Testing and Counselling) di Yankes. Dokter yang menemukan pasien dengan gejala terkait HIV/AIDS dan dengan perilaku seksual berisiko dirujuk ke Klini VCT.

Maka, Pemprov Jateng perlu meningkatkan penjangkauan, tapi terkait dengan 'pintu masuk' HIV/AIDS di atas mustahil dijangkau karena semua terjadi di ranah privat. Itu artinya kasus baru HIV/AIDS akan terus terjadi dan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat pun terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun