Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penanggulangan HIV/AIDS Versi KPA Banyuwangi

13 September 2022   11:46 Diperbarui: 13 September 2022   12:10 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPA Banyuwangi sebut tokoh agama harus dilibatkan atas kasus HIV/AIDS, padahal yang bisa cegah HIV/AIDS hanya masyarakat

"KPA Banyuwangi: Tokoh Agama Harus Dilibatkan Atasi Kasus HIV/AIDS" Ini judul berita di surabaya.liputan6.com (13/9-2022).

Secara empiris pemerintah pun tidak bisa menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat karena perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS dilakukan orang per orang di ranah privat.

Disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mencapai 500.

Namun, perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Banyuwangi terus terjadi melalui warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

Coba simak perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS berikut ini, apakah pemerintah bisa melakukan penjangkauan atau intervensi.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, 

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom, 

Pertanyaan untuk Komisioner Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Banyuwangi, Ana Aniati: Bagaimana cara pemerintah atau tokoh agama melarang warga melakuan perilaku-perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di atas?

Tidak ada!

Soalnya, semua perilaku berisiko di atas terjadi di ranah privat. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan dengan ponsel dan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Maka, secara empiris hanya warga yang bisa mencegah infeksi HIV baru dan memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Perseoalannya adalah: Bagaimana caranya mengajak warga agar tidak melakukan perilau berisiko tertular HIV/AIDS?

Memang, salah satu cara adalah melalui sosialisasi. Tapi, selama ini sejak awal epidemi 35 tahun yang lalu materi HIV/AIDS untuk sosialisasi dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS.

Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Salah satu mitos yang sampai sekarang beredar di masyarakat serta media massa dan media online adalah menyebutan 'seks bebas' sebagai penyebab HIV/AIDS.

Seperti dalam berita ini: "Apalagi disebutkan oleh Dinas Kesehatan, jarum suntik yang bergantian pada pengguna narkoba dan seks bebas menyumbang angka yang tinggi," terang Ana.

Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Sampai sekarang tidak ada yang bisa menjelaskan secara faktual apa yang dimaksud dengan 'seks bebas.' Tapi, jika disimak 'seks bebas' merupakan eufemisme dari kegiatan zina yaitu melacur dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, seks di luar nikah, seks pranikah, homoseksual, dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matriks risiko tertular HIV/AIDS).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Terkait denga waria yang jadi persoalan besar bukan waria, tapi laki-laki yang membeli seks ke waria. Laki-laki yang membeli seks ke waria adalah heteroseksual yang biasanya mempunyai istri.

Maka, yang perlu diintervensi bukan waria tapi laki-laki pembeli seks ke waria karena sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan suami-suami yang sek dengan waria justru jadi 'perempuan' atau ditempong sehinga risiko tertular HIV/AIDS tinggi kalau waria yang menempong tidak memakai kondom.

Disebutkan pula: Ana menjelaskan, kasus yang terjadi di Banyuwangi menjadi peringatan bersama agar lebih intens melakukan edukasi khususnya untuk mereka yang berusia produktif.

Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS yang disebarkan melalui KIE ke kalangan usia produktif sesuai dengan fakta medis?

Tentu saja tidak! Buktinya banyak yang tertular HIV/AIDS karena termakan mitos yang diumbar melalui KIE. Mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek yang bukan PSK di luar lokalisasi agar tidak tertular HIV/AIDS karena termakan mitos 'seks bebas.'

Akibatnya, mereka tertular HIV/AIDS karena secara empiris cewek yang bukan PSK di lokalisasi juga prakteknya sama saja karena mereka juga melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti, dalam hal ini transaksi antara lain melalui media sosial.

Selama sosialisasi HIV/AIDS dengan materi KIE yang tidak sesuai dengan fakta medis, maka selama itu pula banyak orang yang akan terjerumus ke perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Ada lagi pernyataan ini: "Jangan jauhi orangnya, tapi jauhi penyakitnya. Ayo bergerak bersama cegah penularan HIV/AIDS," tandas Ana.

Yang jadi masalah penyakitnya, dalam hal ini HIV/AIDS, justru ada di tubuh orang yang mengidap HIV/AIDS. Bagaimana caranya menjauhi HIV/AIDS dari pengidap HIV/AIDS?

" .... Ayo bergerak bersama cegah penularan HIV/AIDS," tandas Ana.

Caranya, bagaimana Ana? Jangan lakukan seks bebas, jangan seks sebelum menikah, jangan zina, dan seterusnya. Ini semua mitos yang sama sekali tidak mencerahkan yang justru menyesatkan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus bertambah di negeri ini karena penanggulangan hanya sebatas orasi moral yang tidak menyentuh akar persoalan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun