Berita tentang mahasiswa ber-KTP Bandung yang tertular HIV/AIDS seakan menggiring opini publik bahwa hanya mahasiwa Bandung yang tertular HIV/AIDS
Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di kalangan mahasiswa Bandung sebanyak 414 dalam kurun waktu 31 tahun (1991 -- 2022) itu artinya kasus per bulan sebanyak 1,1.
Masak iya, sih, di daerah lain di negeri ini tidak ada satu pun mahasiswa yang tertular HIV dalam satu bulan?
Pemberitaan media massa dan media online benar-benar yang 'mboten-boten aja' karena tidak ada perbandingan dengan daerah lain terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS pada mahasiswa.
Dar aspek jurnalistik berita tanpa perbandingan dan tidak dibawa ke realitas sosial hanya bersifat talking news yang sekelas dengan esai, seperti cerpen.
Berdasarkan data yang diolah penulis dari laporan resmi triwulan siha.kemkes.go.id ternyata jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 -- 31 Desember 2021 paling banyak justru di Jawa Timur (Jatim). Sedangkan Jawa Barat (Jabar) ada di peringkat ke-4 (Lihat tabel).
Apa iya dengan jumlah kasus 89.299 di Jatim tidak ada mahasiswa? Begitu juga dengan sembilan provinsi lain dari sepuluh provinsi dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak di Tanah Air.
Data siha.kemkes.go.id menunjukkan persentase infeksi HIV priode 1987 -- Desember 2021 pada kelompok umur 20-24 tahun sebanyak 15,8%. Rentang usia ini tentu mencakup mahasiswa. Sementara itu jumlah kasus AIDS pada rentang waktu yang sama terdeteksi sebanyak 3.477 pada anak sekolah dan mahasiswa.
Agaknya, penguasa daerah lain menepuk dada karena tidak disebut-sebut terkait dengan kasus HIV/AIDS pada mahasiswa. Tapi, dengan data dari siha.kemenkes.go. id itu daerah lain tentu tidak bisa menutup mata bahwa kasus HIV/AIDS di daerahnya juga terdeteksi pada mahasiswa.
Amat disyangkan media massa dan media online hanya mem-blow up mahasiswa ber-KTP Bandung yang celakanya sumber data juga tidak akurat karena tidak menjelaskan rentang waktu kasus tersebut.
Baca juga: 414 Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS Ternyata Terjadi pada Rentang Waktu Selama 30 Tahun
Tidak sedikit komentar di berita-berita tentang kasus HIV/AIDS itu yang menganggap 414 mahasiswa itu terdeteksi 'baru-baru' ini seperti layaknya penjelasan waktu pada sebagian media.
Ada juga yang berkomentar: mahasiswa segitu banyak AIDS, bagaimana dengan ceweknya.
Tentu saja komentar-komentar itu muncul karena sumber data awal tidak arif memberikan penjelasan. Wartawan yang mendapat informasi itu pun semringah karena bisa jadi berita yang sensasional yang berujung bombastis yang tidak bermakna.
Yang tidak masuk akal adalah solusi yang ditawarkan Wagub Jabar, Uu Ruzhanul Ulum, yaitu poligami dan nikah muda. Ini jelas tidak nyambung karena kasus itu terdeteksi pada masiswa yang masih dibiayai oleh orang tuanya. Apa iya mereka harus menikah selama kuliah dan poligami pula.
Baca juga: Apakah Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum Bisa Jamin Suami yang Poligami Tidak Akan Pernah Lagi Jajan
Yang jadi masalah besar adalah rentang usia mahasiswa libido (dorongan hasrat seksual) sedang berapi-api. Celakanya, menyalurkan libido tidak bisa diganti dengan kegitan lain selain hubungan seksual atau 'swalayan' (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan). Ini pun tidak plong karena hanya bisa 'menahan' libido sementara waktu saja.
Itu artinya perlu disampaikan tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat dengan pijakan fakta medis melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).
Celakanya, sejak awal epidemi HIV/AIDS 35 tahun yang lalu materi KIE selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual sebelum menikah, hubungan seksua di luar nikah, homoseksual dan yang paling kacau adalah penyebutan 'seks bebas.'
Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan komprehensif apa yang dimaksud dengan 'seks bebas,' tapi naga-naganya mengarah ke hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.
Ini yang bikin kaca-balau karena orang-orang kemudian melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan atau cewek yang bukan PSK, dalam hal ini PSK langsung yang kasat mata di lokalisasi pelacuran.
Laki-laki pun mencari cewek di berbagai tempat yang sama sekali bukan lokalisasi pelacuran, seperti melalui media sosial. Eksekusi yaitu hubungan seksual dilakukan di luar lokalisasi pelacuran yaitu di kamar kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan apartemen.
Bagi mereka itu bukan 'seks bebas' sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS. Tapi, mereka keliru karena hubungan seksual yang mereka lalukan berisiko yaitu dengan perempuan yang tidak diketahui status HIV-nya, yang dikenal sebagai PSK tidak langsung yang dalam prakteknya sama saja dengan PSK langsung, dan hubungan seksual juga dilakukan tanpa kondom.
Baca juga: AIDS di Sulawesi Selatan Didorong PSK Tidak Langsung dan Andil PSK Tidak Langsung Dorong Penyebaran HIV/AIDS di Denpasar
Rupanya, banyak orang di negeri ini, termasuk mahasiswa, yang termakan mitos 'seks bebas' sehingga mereka 'kepatil' HIV/AIDS.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat dan daerah, menyampaikan informasi HIV/AIDS melalui KIE dengan pijakan fakta medis agar tidak menyesatkan yang membuat banyak orang terjerumus ke perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H