Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

HIV/AIDS Bandung Bikin Geger Sementara Daerah Lain Simpan Bom Waktu untuk Ledakan HIV/AIDS

9 September 2022   02:51 Diperbarui: 9 September 2022   02:57 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat

Tanpa disadari berita tentang kasus HIV/AIDS pada mahasiswa Bandung, Jawa Barat (Jabar), menarik perhatian banyak orang di negeri ini. Padahal, berdasarkan data yang diolah dari laporan triwulanan siha.kemkes.go.id, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak justru ada di Jawa Timur (Jatim). Jabar sendiri ada di peringkat ke-4 dari 34 provinsi di Indonesia (Lihat tabel).

Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Tabel: 10 provinsi di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS terbanyak 1987 -- Desember 2021. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Selain itu perlu diperhatikan bahwa epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sudah jadi rahasia umum ada daerah yang justru menutup-nutupi jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya karena penguasa di daerah itu menganggap (jumlah) kasus HIV/AIDS sebagai aib.

Bahkan, dalam laporan Triwulan IV/2021 siha.kemkes.go.id ada 12 kabupaten dan kota di Indonesia yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS (Lihat tabel).

Tabel: 12 kabupaten dan kota yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS sampai Desember 2021. (Sumber: siha.kemkes.go.id)
Tabel: 12 kabupaten dan kota yang tidak melaporkan kasus HIV/AIDS sampai Desember 2021. (Sumber: siha.kemkes.go.id)

Selain itu perlu juga dipertanyakan penjangkuaan di daerah-daerah dengan kasus HIV/AIDS yang sedikit.

Apakah ada program penjangkauan ke beberapa komunitas?

Kalau tidak ada itu artinya jumlah kasus yang kecil terjadi karena daerah-daerah tersebut pasif. Artinya, hanya menunggu warga yang berobat ke layakan kesehatan (Yankes) pemerintah, seperti Puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD).

Jika ada pasien dengan riwayat perilaku seksual berisiko dirujuk oleh dokter untuk tes HIV. Ini dikenal sebagai PITS (Provider Initiated Testing and Counselling) yaitu layanan tes dan konseling HIV terintegrasi di sarana kesehatan pemerintah.

Di beberapa negara pasien TB dan IMS dirujuk untuk menjalani tes HIV. Ini tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) karena hanya diberlakukan di Yankes pemerintah. Artinya, warga punya pilihan Yankes lain kalau tidak mau jalani tes HIV.

IMS adalah infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara pengidap IMS ke orang lain dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, virus kanker serviks, trikomona, herpes genitalis, dan kutil kelamin.

Beberapa daerah membusungkan dada dengan mengatakan di daerah mereka tidak ada lokalisasi pelacuran. Secara de jure benar, tapi secara de facto transaski seks berisiko titular HIV/AIDS terus terjadi karena lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial.

Di awal epidemi fasilitas tes HIV dan tes konfirmasi hanya ada di Jakarta. Tempat layanan bagi orang-orang dengan HIV-positif pun hanya ada di Jakarta sehingga ada warga daerah yang ke Jakarta untuk tes HIV dan layanan.

Dari aspek epidemiologi semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi, maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang diputus.

Nah, daerah-daerah yang tidak ada penjangkauan dan yang menutup-nutupi kasus HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS akan tinggi karena warga yang mengidap HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun