Maka, seperti yang pernah dikakatan oleh (alm) dr Kartono Mohamad, pernah jadi Ketua IDI Pusat, dalam beberapa kesempatan wawancara dengan penulis: yang bisa menghentaikan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual hanya masyarakat.
Celakanya, sejak awal epidemi HIV/AIDS sampai sekarang informasi tentang HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS di sisi lain menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Yang sampai ke masyarakat melalui KIE hanya mitos sehingga peran serta masyarakat dalam penaggulangan HIV/AIDS pun tidak bisa diandalkan karena mereka hanya memahami HIV/AIDS sebatas mitos.
Salah satu jargon yang memorak-morandakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah 'seks bebas' yang tidak jelas juntrungannya. Secara harfiah 'seks bebas' ternyata mengacu ke pelacuran yaitu membeli seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Baca juga: Seks Bebas Jargon yang Jadi Kontra Produktif terhadap Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Lihat saja berita seputar HIV/AIDS yang terdeteksi pada mahasiswa ber-KTP Bandung, sebagian besar sama sekali hanya sebagai sensasi yang dibumbui jadi berita yang bombastis (omong kosong).
Dikatakan lagi oleh Ana: Namun, tidak ada dinas apapun di daerah yang melakukan intervensi (terhadap laki-laki heteroseksual yang membeli seks-pen.) ini, sesuai catatan KPA Yogyakarta.
Pertanyaan di atas terkait dengan jumlah ibu rumah tangga (istri) yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Di Bandung dilaporkan 664 sedangkan di DI Yogyakarta 655.
Celakanya, di banyak daerah yang jadi objek justru perempuan (istri). Misalnya, sasaran penyuluhan dan yang diwajibkan tes HIV ketika hamil.
Kondisinya kian runyam karena banyak suami yang menolak menjalani tes HIV jika istrinya yang sedang hamil hasil tes HIV-nya positif. Pada giliranya suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Sejatinya daerah membalik paradigma berpikir: setiap suami yang istrinya hamil wajib menjalani tes HIV. Ini yang harus dibuatkan regulasinya, misalnya Perda. Langkah ini membuat suami tidak bisa lagi menolak untuk tes HIV.