Perilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan bukan penyebab HIV/AIDS tapi perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS
"HIV/AIDS merupakan penyakit menular yang disebabkan karena terjangkit Human Immunodeficiency Virus (HIV)." Ini ada dala berita "Penyebab dan Cara Penularan HIV/AIDS yang Kasusnya Tinggi di Bandung" (kompas.tv, 26/8-2022).
Pernyataan tersebut di atas tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit menular.
HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di sel darah putih manusia.
Sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang di masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).
Penyebutan AIDS sebagai penyakit pun hanya sebatas terminologi karena AIDS bukan penyakit, tapi kondisi yang mengacu ke sindroma sekumpulan gejala penyakit pada seseoang yang tertular HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000, hlm. 16).
Selain itu informasi terkait dengan kematian pengidap HIV/AIDS juga sering tidak menyebut penyakit penyebab kematian sehingga ada kesan kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV/AIDS.
Padahal, kematian pengidap HIV/AIDS di masa AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang diderita di masa AIDS. Seperti diketahi di masa AIDS sistem kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat lemah sehingga mudah terjangkit berbagai macam penyakit.
Nah, penyakit inilah, yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB dan lain-lain yang menjadi penyebab kematian pengidap HIV/AIDS.
Ada pula pernyataan: HIV/AIDS dapat menyerang siapa saja.
Ini tentu tidak akurat karena tidak semua orang melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS atau keduanya.
Yang berisiko tertular HIV/AIDS adalah orang-orang yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS atau keduanya, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:
(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,
(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.
Ada pernyataan ini: .... HIV disebabkan oleh perilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan.
Seseorang tertular HIV/AIDS melalui perilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan terjadi karena pasangannya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Biarpun perilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tapi semua pasangan HIV-negatif, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.
Maka, perilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan, dengan catatan laki-laki tidak pakai kondom, bukan penyebab HIV/AIDS, bukan penyebab HIV/AIDS tapi perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Sudah saatnya media menulis berita HIV/AIDS dengan pijakan fakta medis agar tidak jadi berita misleading (menyesatkan) yang membuat banyak orang terperangkap mitos (anggapan yang salah). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H