Membeberkan identitas warga yang tes HIV merupakan perbuatan melawan hukum dan mendorong stigma dan diskriminasi, dalam hal ini, terhadap mahasiswa Bandung.
"Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung mencatat, kasus penularan HIV/AIDS didominasi oleh usia produktif. Hingga Desember 2021, tercatat ada 12.358 pengidap HIV/AIDS yang melakuan pelayanan kesehatan di Kota Bandung."
Demikian lead pada berita berjudul Ratusan Mahasiswa Ber-KTP Bandung Terinfeksi HIV AIDS (detikjabar, 23/08/2022).
Pemakaian kata "didominasi" pada pernyataan di atas tidak tepat karena dominasi itu artinya menguasai. Bagaimana caranya kalangan usia produktif melarang usia di atas dan di bawah mereka untuk melakukan perilaku bersiko tertular HIV/AIDS. Yang tepat adalah kasus HIV/AIDS "paling banyak" terdeteksi pada kalangan usia produktif.
Kasus HIV/AIDS di kalangan usia produktif yaitu umur 29-49 tahun adalah hal yang realistis. Sebab pada rentang usia itu libido (nafsu birahi) berada di puncak sehingga harus disalurkan. Libido tidak bisa disubsitusi dengan kegiatan lain selain hubungan seksual atau 'swalayan' (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan).
Yang ironis kalau kasus HIV/AIDS di Kota Bandung banyak terdeteksi pada balita dan anak-anak serta Lansia, misalnya. Ini baru persoalan besar. Atau, jika kasus HIV/AIDS paling banyak terdeteksi pada Lansia (lanjut usia) dengan faktor risiko hubungan seksual.
Judul berita Ratusan Mahasiswa Ber-KTP Bandung Terinfeksi HIV AIDS mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap mahasiswa Bandung.
Yang melakukan tes HIV terhadap mahasiswa itu sudah melakukan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu menjamin kerahasiaan.
Orangtua mahasiswa yang ber-KTP Bandung itu pun akan panik, apalagi mereka di luar Bandung atau di luar pulau.
Orangtua-orangtua yang anaknya kuliah di Bandung tentu saja kalang-kabut karena mereka menduga anaknya termasuk dalam ratusan mahasiswa ber-KTP Bandung itu.
Ini pertanyaan besar untuk KPA Kota Bandung: Mengapa harus menyebut ber-KTP Bandung? Sebut saja mahasiswa sesuai dengan pedoman pemakaian latar belakang identitas.
Ini ada dalam berita: Ketua Sekretariat KPA Kota Bandung Sis Silvia Dewi mengatakan, penularan HIV AIDS yang saat ini terjadi didominasi oleh warga yang memiliki umur produktif 20-29 tahun.
Kasus HIV/AIDS pada umur produktif 20-29 tahun itu realitis, saudara! Yang jadi persoalan besar adalah: Bagaimana dan mengapa mereka tertular HIV/AIDS?
Sejatinya KPA Kota Bandung dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mawas diri terkait dengan materi KIE tentang HIV/AIDS.
Tidak usah jauh-jauh di situs web Kemenkes: https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download di atas kanan tertulis: Pencegahan Penularan HIV dengan ABCDE: ABSTINENCE -- Hindari Seks Bebas.
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, anal dan oral) bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini seks bebas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matriks risiko HIV).
Kalau betul seks bebas penyebab seseorang tertular HIV/AIDS, maka semua orang di muka bumi ini yang pernah melakukan bebas sebelum, selama dan sesudah menikah tentulah sudah mengidap HIV/AIDS.
Nah, KPA Bandung perlu sosialisasi ke warga untuk meminta warga yang pernah melakukan seks bebas supaya tes HIV.
Seks bebas merupakan istilah (terminologi) yang rancu alias ngawur bin ngaco karena tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas.
Istilah ini berkembang tahun 1970-an yang dikaitkan dengan perilaku remaja saat itu yang mengacu kepada gaya hidup yang `bebas'. Tapi, itu hanya terjadi pada kalangan atau komunitas tertentu bukan merupakan gaya hidup masyarakat di dunia.
Ketika istilah itu muncul gaya hidup yang mengesankan kehidupan kalangan itu serba bebas, dikenal sebagai kaum hippies, termasuk dalam hal seks. Maka, muncullah istilah free sex yang kemudian diartikan sebagai seks bebas.
Padahal, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri free sex. Yang ada adalah free love (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, Second Edition, Oxford University Press, London, 1963. Disebutkan free love = sexual relations without marriage yaitu hubungan seksual tanpa nikah (halaman 397).
Belakangan ketika kasus HIV/AIDS merebak 'seks bebas' dijadikan sebagai `kambing hitam'. Tapi, tidak ada definisi yang jelas tentang 'seks bebas'. Kalau 'seks bebas' diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara 'seks bebas' dengan penularan HIV.
Maka, pernyataan ini pun jadi tidak pas: Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Bandung melakukan antisipasi dengan melakukan sosialisasi terkait pergaulan bebas yang terjadi di usia remaja-dewasa.
Lagi-lagi penularan HIV/AIDS bukan karena pergaulan bebas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seks bebas dalam pergualan bebas.
Sebenarnya HIV/AIDS pada remaja ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga tidak ada risiko menularkan sampai ke anak.
Pernyataan ini pun tidak objektif: "Itu jadi warning buat kita semua, kita harus lebih intens edukasi lagi ke kaum temaja dengan usia produktif," kata Kepala DPPKB Kota Bandung Dewi Kenny Kaniasari.
Yang jadi persoalan besar justru perilaku seksual berisiko kalangan dewasa, terutama laki-laki, karena kalau seorang laki-laki dewasa yang punya istri tertular HIV/AIDS adar risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya, apalagi ada laki-laki yang beristri lebih dari 1 sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.
Selama sosialisasi dan edukasi dengan materi KIE, termasuk melalui film, yang dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka hasilnya sudah bisa dipastikan nol besar karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah), sedangkan fakta medis HIV/AIDS tenggelam.
Di bagian lain disebutkan: "Kita ada kolaborasi dengan Dinkes, kita antisipasi langkah preventif dan penyuluhan jangan sampai terjadi kasus HIV AIDS meningkat lagi."
Penyuluhan sudah puluhan tahun, tapi hasilnya juga nol besar. Ya, itu karena materinya dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga tidak ada informasi yang konkret tentang cara-cara mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H