Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kabar "HIV/AIDS dengan Identitas Mahasiswa Bandung" Hanya Akan Mendorong Stigma dan Diskriminasi

24 Agustus 2022   04:09 Diperbarui: 25 Agustus 2022   17:46 1930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: Photo by Anna Shvets via Pexels)

Seks bebas merupakan istilah (terminologi) yang rancu alias ngawur bin ngaco karena tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas.

Istilah ini berkembang tahun 1970-an yang dikaitkan dengan perilaku remaja saat itu yang mengacu kepada gaya hidup yang `bebas'. Tapi, itu hanya terjadi pada kalangan atau komunitas tertentu bukan merupakan gaya hidup masyarakat di dunia.

Ketika istilah itu muncul gaya hidup yang mengesankan kehidupan kalangan itu serba bebas, dikenal sebagai kaum hippies, termasuk dalam hal seks. Maka, muncullah istilah free sex yang kemudian diartikan sebagai seks bebas.

Padahal, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri free sex. Yang ada adalah free love (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, Second Edition, Oxford University Press, London, 1963. Disebutkan free love = sexual relations without marriage yaitu hubungan seksual tanpa nikah (halaman 397).

Belakangan ketika kasus HIV/AIDS merebak 'seks bebas' dijadikan sebagai `kambing hitam'. Tapi, tidak ada definisi yang jelas tentang 'seks bebas'. Kalau 'seks bebas' diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara 'seks bebas' dengan penularan HIV.

Maka, pernyataan ini pun jadi tidak pas: Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Bandung melakukan antisipasi dengan melakukan sosialisasi terkait pergaulan bebas yang terjadi di usia remaja-dewasa.

Lagi-lagi penularan HIV/AIDS bukan karena pergaulan bebas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seks bebas dalam pergualan bebas.

Sebenarnya HIV/AIDS pada remaja ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga tidak ada risiko menularkan sampai ke anak.

Pernyataan ini pun tidak objektif: "Itu jadi warning buat kita semua, kita harus lebih intens edukasi lagi ke kaum temaja dengan usia produktif," kata Kepala DPPKB Kota Bandung Dewi Kenny Kaniasari.

Yang jadi persoalan besar justru perilaku seksual berisiko kalangan dewasa, terutama laki-laki, karena kalau seorang laki-laki dewasa yang punya istri tertular HIV/AIDS adar risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya, apalagi ada laki-laki yang beristri lebih dari 1 sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Selama sosialisasi dan edukasi dengan materi KIE, termasuk melalui film, yang dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka hasilnya sudah bisa dipastikan nol besar karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah), sedangkan fakta medis HIV/AIDS tenggelam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun