"Ironisnya, dikatakan Dewi (Dinkes Kabupaten Probolinggo dr Dewi Vironica-pen.), dari 82 ODHIV baru yang ditemukan, ada 12 ODHIV yang merupakan ibu hamil. Kondisi ini menjadi perhatian serius pihaknya." Ini ada dalam berita "Ibu Rumah Tangga Tertinggi Tertular HIV/AIDS, Mayoritas di Usia Produktif" (harianbhirawa.co.id, 26/7-2022).
Ada beberapa hal terkait dengan judul dan pernyataan dalam berita seperti yang dikutip di atas, yaitu:
(a). Tidak ada informasi tentang tempat di judul berita ini. Itu terjadi di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Jatim).
(b). Terminologi ODHIV justru menambah kebingungan masyarakat karena karena dunia hanya mengenal istilah PLWHA (People Living with HIV/AIDS).
Tim dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah sanggar yang khusus mengangani Odha di Jakarta Selatan, menjumpai mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa, dulu Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristek) untuk meminta padanan PLWHA dalam bahasa Indonesia.
Dengan berbagai pertimbanan Prof Anton usulkan Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS. Tidak ditulis dengan kapital karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap dalam Pers Meliput AIDS, Pustaka SInar Harapan-Ford Foundation, Jakarta, 2000, catanan kaki hlm 17).
Penyebutan Odha, menurut Prof Anton, lebih manusiawi daripada pengidap HIV/AIDS atau penderita HIV/AIDS.
Dengan Odha saja muncul stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda), apalagi ditambah dengan ODHIV, masyarakat akan tambah bingung dan menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Saya sebagai wartawan dan aktivis HIV/AIDS sering ditanya oleh banyak kalangan: "Bang atau Pak, ngapain ngurusin mereka (maksudnya Odha) itu semua pezina!"
Sebenarnya saya capek juga menanggapi berita-berita HIV/AIDS di media massa (koran, majalah, radio dan TV) sekarang tambah lagi dengan media online dan media sosial. Soalnya, pemerintah pun sering memberikan informasi yang dibalut dengan moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS
(c). Disebutkan oleh Dewi bahwa 12 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif sebagai ironis. Yang ironis itu justru suami ibu-ibu yang hamil itu karena sudah punya istri mereka masih melakukan hubungan seksual berisiko dengan perempuan lain, bisa di dalam dan di luar nikah.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dewi: Apakah suami 12 ibu hamil itu menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya Pemkab Probolinggo membiarkan 12 mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masayarakat.
Sebaiknya Pemkab Probolinggo membalik paradigm berpikir: yang dites HIV duluan bukan ibu hamil, tapi suami perempuan hamil. Jika suami HIV-positif barulah istrinya yang hamil jalani tes HIV.
(d). Kasus HIV/AIDS para ibu hamil yang merupakan masa produktif tidak ironis karena itu masa subur mereka.
Akan ironis jika kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan nenek-nenek. Ini baru jadi persoalan besar.
Disebutkan dalam berita: .... dari tahun 2010 sampai akhir bulan Juni 2022 total penderita HIV/AIDS (istilah yang tepat adalah jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS) di Kabupaten Probolinggo ada 2.277 dengan 693 kematian. Tapi, tidak ada penjelasan berapa kasus HIV dan berapa pula kasus AIDS.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan (2.277) tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Probolinggo adalah mencari warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini perlu dilakukan dengan payung hukum, seperti peraturan daerah (Perda). Tapi, perlu diingat caranya tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Selain itu untuk mengendalikan penyebaran HIV/AIDS di Kab Probolinggo perlu program yang konkret untuk melakukan intervensi ke pelaku tiga perilaku seksual berisiko ini, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Tentu saja hal yang tidak mudah karena semua terjadi di ranah privat. Apalagi sekarang setelah reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup sehingga pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel sedangkan eksekusinya terjadi di sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Pemkot Probolinggo sudah menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi tidak jalan karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu intervensi ke perilaku seksual berisiko.
Baca juga: Perda AIDS Kota Probolinggo, Jawa Timur: Menyasar Pasangan yang Sah
Maka, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual berisiko akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV selanjutnya akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS jika tidak terdeteksi, tertuama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H