Baca juga: Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan "Seks Bebas" terkait Penularan HIV/AIDS
(c). Disebutkan oleh Dewi bahwa 12 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif sebagai ironis. Yang ironis itu justru suami ibu-ibu yang hamil itu karena sudah punya istri mereka masih melakukan hubungan seksual berisiko dengan perempuan lain, bisa di dalam dan di luar nikah.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dewi: Apakah suami 12 ibu hamil itu menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya Pemkab Probolinggo membiarkan 12 mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masayarakat.
Sebaiknya Pemkab Probolinggo membalik paradigm berpikir: yang dites HIV duluan bukan ibu hamil, tapi suami perempuan hamil. Jika suami HIV-positif barulah istrinya yang hamil jalani tes HIV.
(d). Kasus HIV/AIDS para ibu hamil yang merupakan masa produktif tidak ironis karena itu masa subur mereka.
Akan ironis jika kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan nenek-nenek. Ini baru jadi persoalan besar.
Disebutkan dalam berita: .... dari tahun 2010 sampai akhir bulan Juni 2022 total penderita HIV/AIDS (istilah yang tepat adalah jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS) di Kabupaten Probolinggo ada 2.277 dengan 693 kematian. Tapi, tidak ada penjelasan berapa kasus HIV dan berapa pula kasus AIDS.
Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan (2.277) tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).