Tapi, program itu hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir, sedangkan di Indonesia sejak reformasi lokasilasi pelacuran ditutup yang membuat praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat.
Disebutkan pula: Ia (Firman Rahmatullah-pen.) mengaku masih rendah kesadaran mereka setempat berisiko tertular penyakit itu untuk memeriksakan kesehatannya.
Bukan memeriksakan kesehatan, tapi menjalani tes HIV. Persoalannya, materi KIE hiv/AIDS tidak menyebut dengan jelas perilaku-perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS karena dibumbui dengan moral dan agama. Padahal, 3 perilaku seksual di atas merupakan pintu masuk HIV/AIDS ke Lebak.
Lebih lanjut Firman Rahmatullah mengatakan: "Kami minta warga dapat memeriksakan kesehatannya, terutama bagi masyarakat dengan gaya hidup berisiko (tertular HIVAIDS, red.)."
Menyebut 'gaya hidup berisiko' tidak jelas karena risiko apa, gaya hidup macam apa, dan seterusnya.
Tapi, kalau disebutkan dengan jelas 3 perilaku di atas itu tegas. Maka, yang perlu disosialisasikan media massa dan media online adalah: "Setiap orang yang pernah atau sering melakukan salah satu atau lebih dari 3 perilaku seksual berisiko di atas, maka dianjurkan agar segera menjalani tes HIV secara sukarela."
Persoalannya adalah: Apakah ada keberanian kita untuk menyampaikan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS secara faktual tanpa dibumbui dengan moral dan agama?
Kalau jawabannya: Tidak! Maka, insiden infeksi HIV/AIDS baru akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari sebagai 'bom waktu' yang kelak bermuara sebagai 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H