Pintu masuk HIV/AIDS, dalam hal ini melalui perilaku seksual yang berisiko, yaitu:
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Baca juga: Fantastis, Provinsi Papua Nol Infeksi HIV Baru Tahun 2023
Celakanya, di Papua ada pemuka agama dan bupati yang menolak kondom. Mereka menggencarkan semboyan: Seks Yes, Kondom No!
Tentu saja hal itu menyesatkan yang membuat warga Papua, terutama laki-laki, berada di posisi yang riskan tertular HIV/AIDS.
Selain itu ada pula informasi yang juga menyesatkan yaitu sirkumsisi (sunat) disebut bisa mencegah penularan HIV/AIDS, padahal faktanya sunat hanya berfungsi menurunkan risiko. Karena hanya bisa menurunkan risiko, mengapa tidak memakai kondom saja agar terhindar dari penularan HIV/AIDS! *