Kriminalisasi LGBT merupakan langkah yang ngawur karena LGBT bukan perbuatan yang melawan hukum
"Menkopolhukam Mahfud MD secara terang-terangan kembali mendorong upaya kriminalisasi kelompok LGBT lewat revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)." Ini lead pada berita "Dorong Pidana LGBT di RKUHP, Mahfud MD Dikecam" (VOA, 21/5-2022).
Ini benar-benar di luar akal sehat. Apakah ada hukum yang melarang orientasi seksual?
Disebutkan dalam berita: Mahfud MD menyatakan RKUHP sudah mengatur pemidanaan terhadap LGBT namun pembahasannya terhenti pada 2017.
Sebagai orientasi seksual LGBT adalah lesbian, gay, biseksual dan transgender. Ini ada di alam pikiran. Nah, apakah akal pikiran bisa dipidana?
Lagi pula, bagaimana polisi menangkap seseorang dengan pijakan alam pikiran?
Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran
Setengah orang yang memakai 'baju moral' melihat LGBT sebagai kejahatan dan langsung membawanya ke ranah pidana. Celakanya, hanya transgender (waria) yang kasat mata waria karena secara fisik mereka tidak bisa menyembunyikan orientasi seksualnya yaitu laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
Ciri-ciri perempuan secara fisik tampak pada waria. Alangkah sedihnya saudara-saudara kita yang terlahir dengan orientasi seksual sebagai transgender harus mendekam di dalam penjara hanya karena mereka bagian dari LGBT.
Baca juga: Memberikan Pekerjaan Laki-laki Kepada Waria
Sementara lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dilihat secara fisik karena orientasi seksual mereka tidak kasat mata.
Dalam epidemi HIV/AIDS yang jadi persoalan besar adalah biseksual karena mereka punya istri tapi juga melakukan hubungan seksual berupa seks anal dengan laki-laki. Sedangkan lesbian bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi. Sementara pada gay HIV/AIDS ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri.
Kalau orang-orang yang 'memakai baju moral' tetap ingin mengaitkan LGBT dengan pidana, maka yang jadi persoalan hukum bukan orientasi seksual, tapi perbuatan yang terkait dengan pelecehan seksual, kejahatan seksual dan kekerasan seksual. Tapi, hal ini pun, pelecehan seksual, kejahatan seksual dan kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh LGBT.
Penindakan terhadap pelaku pelecehan seksual, kejahatan seksual dan kekerasan seksual tidak boleh dilakukan berdasarkan orientasi seksual.
Pelaku kejahatan sodomi tidak otomatis gay. Tapi, banyak orang yang salah kaprah dengan mengaitkan LGBT, dalam hal ini gay, dengan kejahatan seksual berupa sodomi yang melibatkan anak-anak.
Sodomi sendiri adalah istilah dalam dunia hukum positif terkait dengan tindakan seksual yang tidak pada tempatnya, seperti seks oral dan seks anal, serta tindakan yang memakai alat kelamin ke organ-organ tubuh manusia yang bukan alat kelamin yang dilakukan oleh heteroseksual dan homoseksual, juga termasuk tindakan seks terhadap binatang (bestialis).
Maka, sodomi tidak otomatis terkait dengan LGBT, dalam hal ini gay, biar pun gay melakukan hubungan seksual dengan cara seks anal.
Salah kaprah lain juga terjadi menyebut pelaku sodomi terhadap anak-anak dilakukan oleh pedofilia. Ini salah karena pedofilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun tanpa kekerasan. Misalnya, menjadikan korban sebagai anak angkat, anak asuh bahkan istri. Sedangkan perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan remaja disebut cougar.
Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja Bagi Perempuan Dewasa
Maka, ketika ada wacana LGBT masuk ranah pidana ini benar-benar salah kaprah karen yang jadi persoalan hukum bukan orientasi seksual, tapi perilaku seksual yang melawan hukum. Seperti pelecehan seksual, kejahatan seksual dan kekerasan seksual.
Seorang heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) pun akan menghadapi dakwaan pidana jika melakukan pelecehan seksual, kekerasan seksual atau kejahatan seksual, seperti zina dan perkosaan.
Kalangan heteroseksual pun tidak sedikit yang melakukan perilaku LGBT, seperti suami yang memaksa istrinya melakukan seks oral, seks anak dan posisi "69" (suami mengoral vagina dan istri mengoral penis) pada waktu yang bersamaan.
Apakah hanya karena dalam ikatan perkawinan suami yang memaksakan perilaku LGBT lolos dari jerat hukum? *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H