Tapi, hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sementara yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks sebelum menikah, zina, melacur, selingkuh dan homoseksual. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual). (Lihat matriks sifat dan hubungan seksual).
Lalu "Temukan." Pertanyaannya, apa cara yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk menemukan warga yang sudah tertular HIV/AIDS?
Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Jika Pemprov DKI Jakarta hanya pasif yaitu menunggu warga berobat kemudian berdasarkan diagnosis ada kaitan dengan HIV/AIDS selanjutnya dirujuk tes HIV itu artinya sama sama dengan membiarkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di Jakarta.
Strategi Temukan, Obati dan Pertahankan dalam penanganan epidemi HIV/AIDS ada di hilir. Sedangkan yang diperlukan untuk mencapai "Getting to Zero" adalah pencegahan infeksi baru di hulu (Lihat matrik).
Pemprov DKI Jakarta sudah menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS No 5 Tahun 2008, tapi Perda ini 'mandul' karena tidak menyasar akar persoalan yaitu pintu masuk HIV/AIDS. Lagi pula Perda-perda AIDS di Indonesia hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Baca juga: Menakar Keampuhan Perda AIDS Jakarta