Pemprov DKI Jakarta berupaya mewujudkan 'Getting to Zero' HIV/AIDS tahun 2030, tapi strategi yang dijalankan hanya menyasar di hilir
"Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan bahwa Pemprov DKI terus berupaya mewujudkan 'Getting to Zero' HIV-AIDS di Jakarta pada 2030 mendatang. Dia pun menyebut beberapa strategi guna mencapai target tersebut." Ini ada dalam berita "Pengidap HIV di Jakarta Tembus 65.916 Jiwa, Pemprov DKI Terapkan Strategi STOP!" (celebrities.id, 26/4-2022).
Dalam berita disebutkan Dinas Kesehatan (DKI Jakarta-pen.) melaporkan bahwa terdapat 65.916 orang dengan HIV positif dan 72.638 ODHA.
Pemakaian istilah ODHA tidak akurat. Pertama, ODHA bukan akronim tapi kata sehingga tidak ditulis dalam bentuk semua huruf kapital. Odha adalah Orang dengan HIV/AIDS yang merupakan padanan dari PLWHA (People Living With HIV/AIDS).
Penyebutan juga kurang pas dan tidak perlu pakai orang karena semua kasus HIV/AIDS ada ada pada orang atau manusia.
Begitu juga tentang angka (jumlah kasus). Jika diakumulasi itu artinya jumlah kasus HIV/AIDS di Jakarta adalah 65.916 + 72.638 = 138.554. Ini fantastis karena laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jakarta dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2021 mencapai 83.347 yang terdiri atas 72.523 HIV dan 10.824 AIDS.
Itu artinya dari tanggal 1 Juli 2021 sd. Desember 2021 terdeteksi 55.207 kasus HIV/AIDS baru. Fantastis. Apa angka ini benar?
Lalu, apa strategi Pemprov DKI Jakarta untuk mencapai "Getting to Zero" HIV/AIDS di Jakarta pada tahun 2030?
Disebutkan: Dalam strategi Penanggulangan HIV, dikenal istilah 'STOP' (yang artinya: Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan).
Jika yang dimaksud dengan "Suluh" adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS, maka ini 'bak menggarami laut' karena penyebaran informasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan pemerintah dan institusi terkait sejak awal epidemi di tahun 1980-an.
Tapi, hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sementara yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks sebelum menikah, zina, melacur, selingkuh dan homoseksual. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual). (Lihat matriks sifat dan hubungan seksual).
Lalu "Temukan." Pertanyaannya, apa cara yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk menemukan warga yang sudah tertular HIV/AIDS?
Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Jika Pemprov DKI Jakarta hanya pasif yaitu menunggu warga berobat kemudian berdasarkan diagnosis ada kaitan dengan HIV/AIDS selanjutnya dirujuk tes HIV itu artinya sama sama dengan membiarkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di Jakarta.
Strategi Temukan, Obati dan Pertahankan dalam penanganan epidemi HIV/AIDS ada di hilir. Sedangkan yang diperlukan untuk mencapai "Getting to Zero" adalah pencegahan infeksi baru di hulu (Lihat matrik).
Pemprov DKI Jakarta sudah menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS No 5 Tahun 2008, tapi Perda ini 'mandul' karena tidak menyasar akar persoalan yaitu pintu masuk HIV/AIDS. Lagi pula Perda-perda AIDS di Indonesia hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Baca juga: Menakar Keampuhan Perda AIDS Jakarta
Pencegahan di hulu, dalam hal ini terkait dengan perilaku seksual berisiko, merupakan kunci untuk mencapai "Getting to Zero." Tapi, dari strategi yang disebut tidak ada program pencegahan di hulu pada perilaku seksual berisiko, yang juga sebagai pintu masuk HIV/AIDS, yaitu:
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;
- Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.
Selama pintu-pintu masuk HIV/AIDS ini tidak "ditutup" maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Pada gilirannya warga, terutama laki-laki, yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV/AIDS bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Jakarta. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H