Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkritisi 3 Langkah Penanggulangan HIV/AIDS ala Pemprov DKI Jakarta

14 Mei 2022   04:45 Diperbarui: 14 Mei 2022   04:56 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: zeenews.india.com)

Dua dari tiga langkah penanggulangan HIV/AIDS di DKI Jakarta ada di hilir, sehingga kasus baru HIV akan terus terjadi karena program tidak mencegah infeksi HIV baru di hulu

"Pertama, memperkuat perencanaan program bersama tuberkulosis - HIV. Kedua, memperkuat pencatatan pelaporan. Ketiga, melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi tuberkulosis - HIV." Ini tiga langkah Pemprov DKI Jakarta untuk menanggulangi Tuberkulosis-HIV seperti yang dikatakan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, dalam berita "Sebanyak 72.638 Warga DKI Jakarta Idap HIV-AIDS" (jakarta.bisnis.com, 26/4-2022).

Disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di DKI Jakarta sampai Desember 2021 sebanyak 72.638.

Terkait langkah pertama yaitu program dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaimana menjalankan program yang dimaksud Wagub Jakarta. Penjelasan tentang program penting agar warga Jakarta memahami cara-cara mencegah, dalam hal ini, HIV/AIDS, yang masuk akal sehat.

Baca juga: Menakar Keampuhan Perda AIDS Jakarta

Soalnya, selama ini di Indonesia cara-cara mencegah penularan HIV/AIDS yang ada dalam materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) hanya sebatas mitos (anggapan yang salah) karena fakta medis HIV/AIDS hilang. Ini terjadi karena materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama.

Fenomena Gunung Es

Sedangkan langkah kedua yaitu memperkuat pencatatan pelaporan adalah kegiatan di hilir. Artinya pencatatan dan pelaporan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi.

Begitu juga dengan langkah ketiga yaitu melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi juga ada di hilir.

Dengan langkah-langkah penanggulangan di hilir, maka Pemprov DKI Jakarta membiarkan warganya tertular HIV di hulu dan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terus terjadi.

Baca juga: Menyoal Pencegahan dan Penanggulangan AIDS di Jakarta

Sejatinya penanggulangan HIV/AIDS lebih diutamakan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurukan karena menghentikan adalah hal yang mustahil, insiden infeksi HIV baru, terutam pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksua dengan pekerja seks komersial (PSK).

Sekarang praktek PSK tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk melakukan advokasi dan sosialisasi agar laki-laki selalu memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan PSK. Kondisinya sekarang kian runyam karena transaksi seks dilakukan melalui media sosial, sedangkan eksekusi dilakukan di sembarang waktu dan tempat. Ini jelas tidak bisa dijangkau.

Kalau saja Pemprov DKI Jakarta lebih arif dan bijaksana, maka langkah di hilir adalah mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebabagi bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemic HIV/AIDS (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Fenomena Gunung Es pada epidemic HIV/AIDS (Foto: Dok/Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Salah satu langkah yang konkret adalah mewajibkan suami perempuan hamil menjalani tes HIV sukarela. Dengan langkah ini mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat melalui hubung seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, bisa diputus.

Pintu Masuk HIV/AIDS ke Masyarakat DKI Jakarta

Dari tiga langkah penanggulangan HIV/AIDS tersebut sama sekali tidak menutup pintu masuk HIV/AIDS melalui hubungan seksual, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 1 ini?

(2). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, seperti perselingkuhan, dll., dengan pasangan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 2 ini?

(3). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan gigolo karena ada kemungkinan gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 3 ini?

(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) karena ada kemungkinan PSK itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 4 ini?  

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria.

Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi 'perempuan' (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi 'laki-laki' (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 5 ini?

(6). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Pertanyaannya: Apa cara yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta untuk mencegah risiko penularan HIV/AIDS melalui perilaku nomor 6 ini?

Baca juga: Angan-angan Jakarta Bebas AIDS pada 2030

Ternyata dari tiga langkah yang disebut sebagai penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak menyentuh 6 pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat di DKI Jakarta.

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat DKI Jakarta terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang kelak akan bermuara sebagai 'ledakan AIDS' di masa depan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun