Lagi pula yang kasat mata hanya waria, sedangkan pelaku orientasi seksual lain, yang disebut menyimpang, tidak kasat mata sehingga tidak bisa dikenali dari fisiknya. Tidak ada ciri-ciri khas gay, lesbian, biseksual, dan lain-lain selama mereka tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.
Lalu, siapa sasaran pencegahan? Di Pasal 11 ayat (2) disebut: Sasaran sosialisasi dan penyuluhan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
a. masyarakat umum;
b. aparatur pemerintah;
c. anak dan remaja pada sektor pendidikan formal, nonformal, dan informal;
d. tokoh masyarakat; dan
e. organisasi masyarakat.
Sasaran yang sangat luas yang tidak fokus sehingga tidak akan ada indikator keberhasilan. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab mengapa terjadi orientasi seksual homoseksual, lesbian, biseksual dan waria sehingga sosialisasi dan penyuluhan tidak menemukan sasaran. Di beberapa negara ada larangan 'mengobati' orientasi seksual karena homoseksual, lesbian, biseksual dan transgender bukan penyakit.
Di Pasal 19 (1) dan (2) disebutkan: Masyarakat dapat berperan aktif untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan terhadap perilaku penyimpangan seksual. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh: a. setiap anggota keluarga dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga.
Pasal ini akan menyuburkan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap keluarga yang anggota keluarganya terindikasi pelaku seks menyimpang karena dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga. Padahal, oritentasi seksual bukan karena pengaruh lingkungan keluarga.
Kalau saja Perda ini mengacu ke perbuatan-perbuatan yang bisa dijerat dengan hukum, seperti sodomi (pemerkosaan secara seks anal yang bisa saja dilakukan hoteroseksual atau homoseksual), pedofilia, infantofilia, bestialis dan nekrofilia maka Perda ini akan jauh lebih bermanfaat.