Media, dalam hal ini media massa dan media online, yang diperburuk oleh ulah pengguna media sosial, juga menyuburkan stigma dengan judul-judul berita yang bombastis (KBBI: banyak berjanji, tetapi tidak akan berbuat banyak; banyak menggunakan kata dan ucapan yang indah-indah serta muluk-muluk, tetapi tidak ada artinya; bersifat omong kosong; bermulut besar).
Ini contoh beberapa judul berita terkait kasus pertama Covid-19:
- Kronologi 2 Kasus Positif Virus Corona, Berawal dari Lantai Dansa.
- Pasien 3-4 Positif Corona Satu "Kelompok Dansa" dengan Kasus 1
- Ketika Lantai Dansa Awal 'Insiden' Penularan Corona di Indonesia.
- Termasuk Korban Corona, Ada 50 Orang di Klub Dansa Menteng.
- Pemerintah Sulit Lacak Peserta Dansa Valentine. Petaka Dansa 'Pembawa' Kasus Virus Corona Pertama di Indonesia.
- Kasus Corona Pertama di Indonesia Tertular dari Klub Dansa.
Celakanya, semua berita itu tidak menjelaskan apa kaitan langsung antara dansa dan penularan Covid-19. Tanpa dansa pun close contact bisa jadi media penularan Covid-19. Sedangkan Jubir Corona Nasional, Achmad Yurianto, mengatakan close contact sekalipun dengan yang terinfeksi Covid-19 tidak otomatis terjadi penularan Covid-19.
Dalam sebuah pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebutkan bahwa stigmatisasi terhadap penderita Covid-19 akan menghalangi penanggulangan Covid-19 di masyarakat. Kasus positif Covid-19 di Indonesia sampai tanggal 1 Juli 2020 dilaporkan 57.770 dengan 2.934 kematian dan 25.595 sembuh. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-29 dunia dan peringkat ke-8 di Asia.
Riwayat Kontak Munculkan Stigma dan Ketakutan
Masyarakat pun 'menghukum' Odha dengan hujatan moral sehingga Odha menutup diri. Celakanya, ketika Odha ke layanan kesehatan dengan membuka status justru ditolak. Sebaliknya, sudah banyak terjadi pasien ke layanan kesehatan dengan risiko tertular Covid-19 justru menutup riwayat kontak dan perjalananya sehingga beberapa dokter dan perawat tertular dan akhirnya meninggal.
Dalam epidemi dan pandemi stigma merupakan hal yang buruk karena berdampak terhadap upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS dan Covid-19. Misalnya, orang-orang dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS tidak mau tes HIV karena takut 'dihukum' masyarakat. Orang-orang pun menutup riwayat kontak dengan pasien Covid-19 dan riwayat perjalanan ke daerah pandemi ketika berobat.
Biar pun catatan medis (medical record) Odha adalah rahasia jabatan dokter, tapi berbagai pihak justru membuka identitas Odha sehingga masyarakat mengenali mereka. Bahkan, media cetak di tahun 1990-an memajang foto pasangan suami istri Odha yang menikah di Makassar, Sulawesi Selatan. Akibatnya, perempuan itu jadi sasaran amarah warga dengan mengusirnya dari kontrakannya. Paling tidak perempuan ini mengalami pengusiran sepuluh kali. Pengusiran dan kebencian terhadap dia baru berhenti setelah perempuan ini beristirahat di liang lahat.
Hal yang sama terjadi pada orang-orang yang terdeteksi terinfeksi Covid-19. Lihat saja judul-judul berita terkait dengan Kode 02 yang disebut-sebut berdansa dengan WN Jepang sehingga tertular Covid-19. Padahal, penularan terjadi bukan karena dansa tapi kontak dengan pengidap Covid-19.
Entah mengapa ada yang memulai mengait-ngaitkan kegiatan pasien Kode 01 dengan dansa sehingga menyuburkan stigmatisasi terhadap mereka dengan aspek norma, moral dan agama yang justru menimbulkan ketakutan yang menghambat penanggulangan Covid-19 di Indonesia. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H