Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"
Disebutkan pula: Revisi Perda, kata Huda, harus mengarah pada upaya preventif, sosialisasi yang masif dan mendukung terwujudnya 3 zero di 2030 yaitu zero kasus baru, zero kematian akibat HIV AIDS, zero diskriminasi.
AIDS Pada Usia Produktif Realitas Bukan Ironi
Zero kasus HIV baru pada tahun 2030 hanya khayalan, mimpi di siang bolong, dan omong kosong karena pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tidak akan pernah bisa menanggulangi perilaku berisiko nomor 1, 2 dan 3 di atas. Itu artinya insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.
Baca juga: Hari AIDS Sedunia: Bualan, Indonesia Bebas Infeksi HIV Baru Tahun 2030
Laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko, disebut pada usia produktif, adalah hal yang realistis bukan ironis. Karena pada rentang usia itulah libido seks tinggi.
Baca juga: AIDS pada Usia Produktif di Yogyakarta bukan Ironis tapi Realistis
Huda dan pegiat penanggulangan HIV/AIDS, Mahda, menyinggung soal diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Diskriminasi ada di hilir sehingga tidak terkait langsung dengan penanggulangan. Yang jadi soal adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Dalam prakteknya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK hanya bisa dilakukan pada PSK langsung di lokalisasi pelacuran. Celakanya, sejak reformasi tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang di era Orba disebut sebagai lokres (lokalisasi untuk resosialisasi dan rehabilitasi) PSK.
Jika kelak Perda AIDS DIY direvisi tapi tetap dengan pasal-pasal yang normatif dengan balutan moral dan agama, maka lagi-lagi hasilnya hanyalah nol besar. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H