"Meningkatnya jumlah kasus HIV di kalangan ibu rumah tangga salah satunya akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang pencegahan dan faktor penyebab penularan HIV AIDS." Ini dikatakan oleh Plt Direktur Kesehatan Reproduksi BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), Widwiono, seperti dikutip beritasatu.com dari Suara Pembaruan, 9/11-2019.
Pernyataan Widwiono ini sangat tidak masuk akal karena 16.844 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS tertular dari suaminya. Sehebat apa pun pengetahuan seorang ibu rumah tangga tentang HIV/AIDS mereka tidak akan bisa atau boleh bertanya kepada suaminya terkait dengan perilaku seksual suami mereka.
Apakah yang dimaksud Widwiono ' .... pengetahuan mereka tentang pencegahan dan faktor penyebab penularan HIV AIDS' adalah suami harus memakai kondom jika hubungan suami-istri?
Pertama, BKKBN sendiri menolak mempromosikan kondom sebagai alat KB dan sekaligus mencegah penularan HIV/AIDS.
Kedua, adalah hal yang mustahil seorang istri meminta suami pakai kondom sebelum seks karena takut tertular HIV/AIDS.
Maka, persoalan bukan pada ibu-ibu rumah tangga tapi pada suami mereka yang tidak menjada diri sehingga tertular HIV/AIDS. Celakanya, tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri khas AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS [secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral (ARV) sesuai anjuran dokter].
Disebutkan dalam berita: Ada tren (infeksi HIV/AIDS-pen.) yang cukup mengkhawatirkan, di mana kasus penularan ke ibu rumah tangga terus meningkat.
Selama sasaran sosialisasi hanya menyasar ibu-ibu rumah tangga, maka selama itu pula suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS akan menularkan HIV/AIDS ke istri mereka jika mereka tertular HIV/AIDS.
Pada akhirnya risiko ada pada bayi yang dikandung ibu-ibu rumah tangga tsb. Celakanya, tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga yang tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sekarang hanya sebatas anjuran agar ibu-ibu hamil menjalani tes HIV secara sukarela. Persoalannya adalah suami dari ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak mejalani tes HIV. Akibatnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Di RSUD dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Kab Lebak, Prov Banten, sering terjadi suami akan kabur meninggal istri dan anak-anaknya ketika diberitahu istrinya yang hamil atau baru melahirkan mengidap HIV/AIDS.
Baca juga: HIV/AIDS di Lebak, Banten, Banyak Terdeteksi pada Keluarga
'Hari gini' ternyata orang sekelas Widwiono masih saja membalut lidah dengan moral dalam penjelasan tentang HIV/AIDS yang merupakan fakta medis. Lihat saja ini: Widwiono mengatakan, salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam menangkal penyebaran HIV adalah melalui peningkatan ketahanan keluarga.
Pernyataan ini juga mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mereka dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Widwiono merinci delapan fungsi keluarga, yaitu: agama, budaya, kasih sayang, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan perlu dilakukan secara terus menerus oleh kader dalam setiap kegiatan pembinaan keluarga.
Tidak ada kaitan langsung antara delapan fungsi keluarga tsb. dengan penularan HIV/AIDS, misalnya:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS; atau
(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual (laki-laki tidak memakai kondom), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS.
Perilaku berisiko di atas jelas tidak bertentangan dengan agama, tapi merupakan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS
Yang mendesak dilakukan adalah intervensi (di hulu) yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini hanya efektif jika transaksi seks PSK dilokalisir. Thailand sudah membuktikan keberhasilan program ini dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS pada taruna calon militer.
Masalah besar adalah banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) bahwa seks dengan bukan PSK di lokalisasi pelacuran bukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos - "Cewek Bukan PSK"
PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, dll.
Mereka menganggap seks dengan cewek di hotel atau model dan artis prostitusi online tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena tidak dilakukan di lokalisasi pelacuran. Itu artinya insiden infeksi HIV/AIDS baru akan terus terjadi yang pada gilirannya akan menyebar ke ibu-ibu rumah tangga. Kalau ini yang terjadi maka Indonesia bisa jadi 'Afrika Kedua' dengan 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H