Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Membandingkan Tarif MRT Jakarta dengan Tarif MRT di ASEAN

1 April 2019   12:34 Diperbarui: 2 April 2019   19:51 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi meninjau MRT Jakarta pada peresmian tanggal 24/3-2019 (Sumber: m.bizlaw.id)

Hari Senin tepatnya tanggal 1 April 2019 warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia mulai memakai jenis transportasi yang terhindar dari kemacetan sehingga cepat sampai ke tujuan yaitu MRT (Moda Raya Transpor) fase pertama pada jalur Bundaran HI (Jakarta Pusat) sampai ke Lebak Bulus (Jakarta Selatan) sepanjang 16 km dengan 13 stasiun yang terdiri atas 6 di bawah tanah (underground) dan 7 stasiun layang (elevated).

MRT (mass rapid transit) sendiri merupakan sarana transportasi massal yang cepat karena terhindar dari kemacetan dan persimpangan jalan.

Kalau membaca berita di media massa dan media online serta mendengar talkshow di televisi, pembicara yang disebut pengamat perkotaan dan transportasi selalu mengatakan: mengatasi kemacetan. Ini jadi rancu karena semua kota di dunia macet. Tapi, di banyak kota besar di dunia ada opsi (pilihan) transport yang bebas dari kemacetan yaitu MRT (di bawah tanah atau melayang).

Penumpang MRT Singapura (Sumber: livingnomads.com)
Penumpang MRT Singapura (Sumber: livingnomads.com)
Ada lagi pengamat yang mengatakan pertambahan kendaraan bermotor tidak sebanding dengan pertambahan (panjang) jalan raya. Ini juga membingungkan karena kemacetan tidak terjadi di semua ruas jalan dan tidak sepanjang hari. Kemacetan hanya terjadi di titik-titik tertentu.

Yang diperlukan adalah pilihan moda transpor yang cepat dan mengangkut banyak orang. Bank Dunia sudah wanti-wanti di awal tahun 1980-an bahwa kota dengan penduduk di atas 1 juta harus mempunyai jaringan transportasi MRT. Selain MRT ada lagi LRT (light rail transit) yaitu kereta listrik layang yang lebih sedikit muatannya daripada MRT.

Penumpang MRT Kuala Lumpur (Sumber: freemalaysiatoday.com)
Penumpang MRT Kuala Lumpur (Sumber: freemalaysiatoday.com)
Diskusi MRT dan LRT hanya sebatas wacana karena sampai tahun 2012 tidak ada tanda-tanda yang konkret untuk membangun MRT. Memang, ada proyek LRT tapi 'gatot' (gagal total). Hanya tersisa tiang pancang di beberapa ruas jalan di Ibu Kota.

[Baca juga: Monorail Jakarta: Tanggalkan Kepentingan Politis dan Bisnis Kedepankan Hak Publik]

Harapan warga Jakarta untuk menikmati perjalanan di ibu kota yang nyaman dan terhindar dari kemacetan akhirnya jadi kenyataan ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pembangunan MRT Fase I Bundaran HI -- Lebak Bulus.

Penumpang MRT bawah tanah di Bangkok (Sumber: bangkok.com)
Penumpang MRT bawah tanah di Bangkok (Sumber: bangkok.com)
Banyak kalangan yang mengatakan langkah Jokowi membangun MRT dan LRT sebagai 'keberanian politik' untuk membangun sarana traportasi yang (lebih) beradab. Harap maklum tidak mungkin memakai dana APBD Jakarta atau APBN untuk membangun MRT dengan biaya 1,7 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 25 triliun. Dengan menggandeng pihak lain akhirnya MRT Jakarta beroperasi resmi secara komersial mulai tanggal 1 April 2019, yaitu pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC), yang kemudian bergabung ke dalam Japan International Cooperation Agency (JICA).

[Baca juga: MRT dan LRT, Keberanian Politik Jokowi Bangun Transportasi Beradab]

Sebagai presiden Jokowi kembali membuat gebrakan dengan dengan mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) untuk membangun jaringan LRT. Perpres ini dua kali direvisi. Pembangunan jaringan LRT menghadapi kendala karena tidak bisa membebaskan lahan di Bekasi Timur untuk 'tempat parkir' sebanyak 15 jalur. Tanpa ada 'tempat parkir' operasi LRT tidak bisa dijalankan.

Tarif MRT ditentukan oleh Pemprov DKI Jakarta karena menyangkut subsidi. Transportasi umum memang harus disubsidi pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi yang mengoperasikan transportasi umum tsb.

Pemprov DKI Jakarta menetapkan tarif MRT jarak paling dekat Rp 4.000 dan jarak paling jaun Rp 14.000.

Di mana posisi tarif ini jika dibandingkan dengan tarif MRT di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila?

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Tarif terdekat MRT Jakarta ada di peringkat ke-3 setelah Singapura dan Bangkok serta di atas Kuala Lumpur dan Manila. Tapi, jika dibandingkan dengan GDP per kapita tarif terdekat MRT Jakarta ada di peringkat ke-4 di atas Manila. Dengan GDP yang hampir sama dengan Indonesia tarif MRT di Manila tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Dengan GDP di peringkat ke-2 tarif terdekat MRT di Kuala Lumpur justru di bawah tarif MRT Jakarta.

dokpri
dokpri

Begitu juga dengan tarif terjauh MRT Jakarta ada di peringkat ke-4 di atas Manila. Tapi, jika dibandingkan dengan GDP per kapita tarif terjauh MRT Jakarta ada di peringkat ke-4 di atas Manila. Dengan GDP yang hampir sama dengan Indonesia tarif terjauh MRT di Manila lebih murah dengan tarif Jakarta.  

Kita sering mendengar harga ini dan tarif anu terendah dan termurah di Asean, tapi tidak dibandingkan dengan GDP per kapita (dari berbagai sumber). *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun