Hari Senin tepatnya tanggal 1 April 2019 warga Jakarta khususnya dan rakyat Indonesia mulai memakai jenis transportasi yang terhindar dari kemacetan sehingga cepat sampai ke tujuan yaitu MRT (Moda Raya Transpor) fase pertama pada jalur Bundaran HI (Jakarta Pusat) sampai ke Lebak Bulus (Jakarta Selatan) sepanjang 16 km dengan 13 stasiun yang terdiri atas 6 di bawah tanah (underground) dan 7 stasiun layang (elevated).
MRT (mass rapid transit) sendiri merupakan sarana transportasi massal yang cepat karena terhindar dari kemacetan dan persimpangan jalan.
Kalau membaca berita di media massa dan media online serta mendengar talkshow di televisi, pembicara yang disebut pengamat perkotaan dan transportasi selalu mengatakan: mengatasi kemacetan. Ini jadi rancu karena semua kota di dunia macet. Tapi, di banyak kota besar di dunia ada opsi (pilihan) transport yang bebas dari kemacetan yaitu MRT (di bawah tanah atau melayang).
Yang diperlukan adalah pilihan moda transpor yang cepat dan mengangkut banyak orang. Bank Dunia sudah wanti-wanti di awal tahun 1980-an bahwa kota dengan penduduk di atas 1 juta harus mempunyai jaringan transportasi MRT. Selain MRT ada lagi LRT (light rail transit) yaitu kereta listrik layang yang lebih sedikit muatannya daripada MRT.
[Baca juga: Monorail Jakarta: Tanggalkan Kepentingan Politis dan Bisnis Kedepankan Hak Publik]
Harapan warga Jakarta untuk menikmati perjalanan di ibu kota yang nyaman dan terhindar dari kemacetan akhirnya jadi kenyataan ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan pembangunan MRT Fase I Bundaran HI -- Lebak Bulus.
[Baca juga: MRT dan LRT, Keberanian Politik Jokowi Bangun Transportasi Beradab]
Sebagai presiden Jokowi kembali membuat gebrakan dengan dengan mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) untuk membangun jaringan LRT. Perpres ini dua kali direvisi. Pembangunan jaringan LRT menghadapi kendala karena tidak bisa membebaskan lahan di Bekasi Timur untuk 'tempat parkir' sebanyak 15 jalur. Tanpa ada 'tempat parkir' operasi LRT tidak bisa dijalankan.
Tarif MRT ditentukan oleh Pemprov DKI Jakarta karena menyangkut subsidi. Transportasi umum memang harus disubsidi pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi yang mengoperasikan transportasi umum tsb.
Pemprov DKI Jakarta menetapkan tarif MRT jarak paling dekat Rp 4.000 dan jarak paling jaun Rp 14.000.
Di mana posisi tarif ini jika dibandingkan dengan tarif MRT di Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Manila?
Begitu juga dengan tarif terjauh MRT Jakarta ada di peringkat ke-4 di atas Manila. Tapi, jika dibandingkan dengan GDP per kapita tarif terjauh MRT Jakarta ada di peringkat ke-4 di atas Manila. Dengan GDP yang hampir sama dengan Indonesia tarif terjauh MRT di Manila lebih murah dengan tarif Jakarta. Â
Kita sering mendengar harga ini dan tarif anu terendah dan termurah di Asean, tapi tidak dibandingkan dengan GDP per kapita (dari berbagai sumber). *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI