Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kartu Pra-Kerja Sejalan dengan Filosofi Pajak

10 Maret 2019   14:43 Diperbarui: 10 Maret 2019   17:15 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kegiatan pelatihan atau workshop juga 'kan dikenal uang transpor atau honorarium harian. Nah, Kartu Pra-Kerja masuk dalam kategori ini. Anak-anak muda yang baru lulus sekolah atau perguruan tinggi menjalani pelatihan khusus untuk masuk dunia kerja dengan bekal Kartu Pra-Kerja sehingga mereka tidak kesulitan ketika mengikuti kegiatan.

Sandi lagi-lagi mengatakan: "Pemerintah harus bantu mereka untuk mandiri, buka usaha, buat kesempatan mereka membuka lapangan kerja. Jangan kasih kartu, kartu pra-kerja, nggak kerja apa-apa malah digaji."

Seperti yang dikatakan oleh Menaker, uang pada Kartu Pra-Kerja adalah untuk pelatihan dengan hasil masuk ke dunia kerja. Banyak di antara pengangguran tidak bisa ikut pelatihan kerja karena tidak punya uang, maka tanpa Kartu Pra-Kerja mereka tetap terpuruk dan tidak akan pernah bisa masuk ke dunia kerja yang sekarang kian ketat persaingannya.

Agar penerima Kartu Pra-Kerja benar-benar jadi 'aset', maka perlu ada klausul bahwa penerima Kartu Pra-Kerja otomatis mempunyai NPWP sehingga ada pada posisi WP. Ketika mereka bekerja mereka jadi WP yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan negara.

Ketika mengantar anak masuk kuliah di sebuah PTN di Yogyakarta (2011), saya berjumpa dengan beberapa calon mahasiwa yang belum bisa mendaftar ulang karena tidak punya uang untuk keperluan pendaftaran. Saya sendiri ngutang agar bisa daftarkan anak.

Yang terlintas di benak saya ketika itu adalah mengapa dana pemerintah-pemerintah daerah lebih banyak dipakai untuk membiayai klub sepakbola daripada memberikan pinjaman kepada warga calon mahasiswa di perguruan tinggi.

[Baca juga: Menggagas Pinjaman (Kredit) untuk (Calon) Mahasiswa]

Padahal, pertandingan sepak bola sering rusuh bahkan menelan korban jiwa. Yang ironis banyak pemain bola warga negara asing. Kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan, di daerah klub sepak bola itu sangat rendah, tapi pemerintah daerah setempat mengluarkan puluhan miliar setiap tahun untuk klub sepak bola.

Diberitakan oleh beritasatu.com (28/1-2011): Setiap tahunnya, berbagai klub sepak yang bernaung di bawah PSSI menghabiskan anggaran milik rakyat dalam APBD sebesar Rp 720 miliar.

[Baca juga: Dana APBD Direnggut Klub Sepak Bola PSSI]

Kalau saja pemerintah daerah yang 'menghidupi' klub sepak bola dengan dana APBD mengalihkan dana itu jadi kredit bagi warga untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi tentu jadi investasi. Penerima kredit buat perjanjian setelah lulus bekerja di lingkungan pemerintah daerah yang memberinya kredit. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun