Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kartu Pra-Kerja Sejalan dengan Filosofi Pajak

10 Maret 2019   14:43 Diperbarui: 10 Maret 2019   17:15 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: kumparan.com)

Sejarah dan perkembangan pajak menunjukkan tujuan yang berbeda di awal pemungutan pajak di masa Fir'aun sampai di era milenial. Kalau dahulu kala pajak hanya kewajiban paksa rakyat untuk membayar sejumlah tertentu kepada penguasa, belakangan pajak tidak lagi semata-mata iuran paksa tapi sudah jadi bagian dari kesejahteraan rakyat.

Secara filosofis disebutkan ketika seseorang menghasilkan uang dari usaha yang legal dia menyerahkan sebagian penghasilannya berdasarkan ketentuan kepada pemerintah atau negara. Ketika seseorang tidak bisa bekerja karena berbagai faktor, maka pemerintah yang memberikan penghasilan kepada orang-orang yang putus kerja, yang tidak bisa kerja dan yang belum kerja. Maka, di banyak negara dikenal ada tunjangan sosial bagi yang di-PHK, yang tidak atau belum bekerja, dll.

Subsidi

Memang, filosofi pajak ini belum dijalankan di Indonesia. Banyak warga negara yang berpenghasilan keja pajak (PKP) tapi tidak terdaftar sebagai wajib pajak (WP) atau pembayar pajak karena mereka tidak terdaftar sehingga tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kalangan ahli dan pengamat memperkirakan jumlah WP di Indonesia tidak ideal. Data Ditjen Pajak menunjukkan jumlah WP yang terdaftar per 1 Januari 2018 sebanyak 39,2 juta (mucglobal.com, 19/9-2018).

Akibatnya, pajak sebagai sumber utama APBN hanya untuk mendukung roda pembangunan nasional. Sedangkan untuk kesejahteraan sebagai imbal-balik tidak secara langsung dalam bentuk uang, tapi beberapa bantuan non-tunai pemerintah.

Jika pijakan filosofi pajak dipakai, maka Kartu Pra-Kerja yang digagas Capres Nomor 01, Joko Widodo, bisa diibaratkan seperti filosofi pajak. Ketika anak-anak muda lulusan SMK atau perguruan tinggi belum punya kesempatan bekerja karena berbagai factor, mereka disubsidi pemerintah. Tapi, ketika kelak mereka bekerja maka mereka akan membayar pajak, dalam hal ini pajak penghasilan.

Tanpa melihat persolan secara proporsional Cawapres Nomor 02, Sandiaga Uno, langsung angkat bicara: "Itu sama saja mendidik masyarakat tangannya di bawah bukan di atas, betul?" (finance.detik.com, 9/3-2019).

Gagasan Kartu Pra-Kerja tidak otomatis dalam bentuk tunai. Seperti dikatakan oleh Menaker Hanif Dhakiri, yang dimaksud dengan tunai adalah dalam bentuk insentif dari pemerintah sambil menjalankan pelatihan yang terdapat pada program pelatihan (finance.detik.com, 6/3-2019).

Disebutkan pula oleh Sandi: Selain tidak tepat, menurut Sandi Kartu Pra-Kerja akan membebani anggaran negara.

Jika dibandingkan dengan jumlah uang yang dirampok para koruptor, pengeluaran untuk Kartu Pra-Kerja jauh lebih sedikit. Lagi pula anggaran negara untuk pemegang Kartu Pra-Kerja adalah investasi bukan untuk menimbun kekayaan dan foya-foya seperti yang dilakukan para koruptor.

Menurut Rektor UGM Prof  Dr  Pratikno, MSoc, Sc, nilai biaya eksplisit (biaya terlihat) korupsi selama tahun 2012 sebesar Rp168,19 triliun, Namun dari total nilai hukuman finansial atau uang hasil korupsi yang dikembalikan ke negara hanya Rp15,09 triliun atau 8,97%. "Nilai eksplisit yg hilang sebesar Rp153,1 T. Inipun masih perlu ditambah biaya implisit (tidak terlihat), seperti biaya antisipasi, biaya reaksi dan biaya kesempatan. Mungkin bisa mencapai Rp 250 T." (ugm.ac.id, 25/7-2013).

Dalam kegiatan pelatihan atau workshop juga 'kan dikenal uang transpor atau honorarium harian. Nah, Kartu Pra-Kerja masuk dalam kategori ini. Anak-anak muda yang baru lulus sekolah atau perguruan tinggi menjalani pelatihan khusus untuk masuk dunia kerja dengan bekal Kartu Pra-Kerja sehingga mereka tidak kesulitan ketika mengikuti kegiatan.

Sandi lagi-lagi mengatakan: "Pemerintah harus bantu mereka untuk mandiri, buka usaha, buat kesempatan mereka membuka lapangan kerja. Jangan kasih kartu, kartu pra-kerja, nggak kerja apa-apa malah digaji."

Seperti yang dikatakan oleh Menaker, uang pada Kartu Pra-Kerja adalah untuk pelatihan dengan hasil masuk ke dunia kerja. Banyak di antara pengangguran tidak bisa ikut pelatihan kerja karena tidak punya uang, maka tanpa Kartu Pra-Kerja mereka tetap terpuruk dan tidak akan pernah bisa masuk ke dunia kerja yang sekarang kian ketat persaingannya.

Agar penerima Kartu Pra-Kerja benar-benar jadi 'aset', maka perlu ada klausul bahwa penerima Kartu Pra-Kerja otomatis mempunyai NPWP sehingga ada pada posisi WP. Ketika mereka bekerja mereka jadi WP yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan negara.

Ketika mengantar anak masuk kuliah di sebuah PTN di Yogyakarta (2011), saya berjumpa dengan beberapa calon mahasiwa yang belum bisa mendaftar ulang karena tidak punya uang untuk keperluan pendaftaran. Saya sendiri ngutang agar bisa daftarkan anak.

Yang terlintas di benak saya ketika itu adalah mengapa dana pemerintah-pemerintah daerah lebih banyak dipakai untuk membiayai klub sepakbola daripada memberikan pinjaman kepada warga calon mahasiswa di perguruan tinggi.

[Baca juga: Menggagas Pinjaman (Kredit) untuk (Calon) Mahasiswa]

Padahal, pertandingan sepak bola sering rusuh bahkan menelan korban jiwa. Yang ironis banyak pemain bola warga negara asing. Kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan, di daerah klub sepak bola itu sangat rendah, tapi pemerintah daerah setempat mengluarkan puluhan miliar setiap tahun untuk klub sepak bola.

Diberitakan oleh beritasatu.com (28/1-2011): Setiap tahunnya, berbagai klub sepak yang bernaung di bawah PSSI menghabiskan anggaran milik rakyat dalam APBD sebesar Rp 720 miliar.

[Baca juga: Dana APBD Direnggut Klub Sepak Bola PSSI]

Kalau saja pemerintah daerah yang 'menghidupi' klub sepak bola dengan dana APBD mengalihkan dana itu jadi kredit bagi warga untuk menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi tentu jadi investasi. Penerima kredit buat perjanjian setelah lulus bekerja di lingkungan pemerintah daerah yang memberinya kredit. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun