Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Soal Kampanye HIV/AIDS, KPAI Bicara di Permukaan

17 Februari 2019   15:04 Diperbarui: 17 Februari 2019   15:09 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer: Artikel ini tidak dalam kapasitas membela pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI, tapi berdasarkan pengalaman meliput dan menulis berita HIV/AIDS sejak awal epidemi sampai sekarang dan seterusnya ....

Ketika saya diminta jadi pembicara di sebuah acara terkait HIV/AIDS di salah satu provinsi peringatan pertama yang saya terima adalah: "Bang, tolong jangan menyebut kondom, ya."

Nah, bagaimana membuat 'iklan keren' wong nyebut kondom saja tidak boleh. Padahal, secara medis kondom adalah alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, antara seorang yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain.

Apakah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahu persis sejak HIV/AIDS belum diakui oleh pemerintah ada di Indonesia, sebelum tahn 1987, mulai dari menteri kesehatan, wartawan, pakar, tokoh sampai (ada) dokter pun mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan agama?

Pakar-pakar kesehatan terkait dengan imunitas dan darah di Indonesia sudah memastikan ada warga yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 1987, tapi pemerintah selalu menampik. Bahkan, Presiden Soeharto waktu itu ikut angkat bicara: Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Kesehatan agar memberikan penjelasan yang benar kepda masyarakat luas, bahwa di Indonesia tidak ada penyakit AIDS (Berita Yudha, 14/4-1986).

Dengan mengaitkan norma, moral dan agama ke HIV/AIDS itu artinya ada kaitan antara norma, moral dan agama dengan orang-orang yang mengidap HIV/AIDS (Odha). Di beberapa peraturan daerah (Perda) AIDS, seperti Perda AIDS Provinsi Riau, malah disebutkan bahwa untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan cara "meningkatkan iman dan taqwa".

[Baca juga: Menyibak Peran Perda AIDS Riau dalam Penanggulangan AIDS Riau]

Itu artinya orang-orang yang kena AIDS iman dan taqwanya rendah. Padahal, apa ukuran dan siapa yang berhak mengukur iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS?

Memang, seperti dikatakan oleh Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, HIV/AIDS hanya terkait dengan cairan darah, air mani, vagina dan air susu ibu (ASI) yang sama sekali tidak terjadi di lingkungan sekolah (voaindonesia, 17/2-2019).

Tapi, belakangan ini instansi dan institusi serta aktivis AIDS menyebarkan semboyan "Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya". Wong, HIV/AIDS ada di dalam badan pengidapnya, lalu bagaimana caranya? Ini benar-benar merugikan penanggulangan HIV/AIDS karena semboyan yang ngaco bin ngawur.

Iklan layanan masyarakat sekeren apa pun tidak ada manfaatnya karena di awal epidemi HIV/AIDS pemerintah sudah mematri pendapat di benak banyak orang bahwa: HIV/AIDS penyakit orang luar, HIV/AIDS penyakit bule, HIV/AIDS penyakit gay, HIV/AIDS penyakit PSK, dst.

Hal itu terjadi karena pemerintah 'menunggu-nunggu' kasus yang menguatkan informasi yang disebarkan. Ketika seorang turis Belanda, yang juga seorang laki-laki gay, meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987), maka kloplah sudah informasi yang disebarkan pemerintah waktu itu dengan fakta yaitu kematian turis tadi. Padahal, tahun-tahun sebelumnya pakar-pakar imunitas dan darah di Indonesia sudah menemukan beberapa kasus terkait dengan HIV/AIDS.

[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]

HIV/AIDS kian kental kaitannya dengan norma, moral dan agama sampai sekarang karena  sampai sekarang pun tetap saja informasi tentang HIV/AIDS dibumbui dengan moral. Yaitu  selalu mengaitkan HIV/AIDS dengan seks pranikah, seks di luar nikah, PSK, LGBT, dll.

[Baca juga: Kemenkes Sebarkan Mitos AIDS]

Disebutkan oleh Retno Listyarti: Salah satu contoh iklan yang menarik dan kuat, yaitu iklan layanan masyarakat tentang epilepsi pada 1990an.

Epilepsi tidak ada stigma karena tidak dikatikan dengan dengan norma, moral dan agama. Berbeda dengan HIV/AIDS yang sejak awal epidemi di awal tahun 1980-an informasi tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengaitkan HIV/AIDS dengan pelacuran, gay, bule, dll. Ini terus subur karena terus disiram sampai sekarang bahkan oleh instansi dan kalangan medis. Itu artinya masyarakat luas tetap memandang HIV/AIDS dari sudut norma, moral dan agama. Ini fakta!

Dalam berita disebutkan: .... Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati menjelaskan kementeriannya sudah membuat edukasi soal HIV/AIDS melalui iklan layanan masyarakat.

Coba saja lihat informasi yang disampaikan ke pelajar melalui Aku Bangga Aku Tahu (ABA) sama sekali tidak ada informasi yang akurat tentang cara pencegahan penularan HIV/AIDS.

[Baca juga: "ABAT" (Aku Bangga Aku Tahu) yang Tidak Memberikan Cara Pencegahan yang Eksplisit dan Informasi HIV/AIDS untuk Remaja (yang) Dibalut Moral]

Di bagian lain disebutkan: Manajer kasus LSM Lentera Rudi Mulia juga sependapat dengan usulan KPAI terkait perlunya evaluasi dan iklan layanan masyarakat HIV/AIDS.

Lalu, seperti apa iklan dan sosialisasi yang dilancarkan LSM Lentera? Cobalah sebutkan contohnya agar kita bisa evaluasi juga, Saudara.

Selama penanggulangan HIV/AIDS tetap memakai sudut pandang norma, moral dan agama, maka selama itu pula setengah orang akan selalu melihat perilaku pengidap HIV/AIDS terkait dengan norma, moral dan agama. Ini akan berujung pada stigma dan diskriminasi, seperti penolakan siswa SD di Samosir, Sumut dan Solo.

[Baca juga: AIDS di Samosir, 3 Anak-anak Pengidap HIV/AIDS Terancam Diusir]

Saya ingat betul ketika Bu Naf, mantan Menkes dr Nafsiah Mboi, SpA, disebut sebagai 'menteri cabul' oleh seorang pimpinan ormas keagamaan hanya karena Bu Naf mendukung sosialisasi kondom untuk mencegah HIV/AIDS.

Sebagai lembaga independen yang keren apakah KPAI bernyali menghadapi kalangan yang menentang kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual? *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun