[Baca juga: Salah Kaprah tentang Paedofilia]
Yang dikhawatirkan adalah ada saja orang yang justru menyalahkan korban (blaming the victims). Ini gejala umum yang terjadi di Indonesia, bahkan lebih banyak dilakukan oleh perempuan.
Tidak ada kaitan langsung antara cara berpakaian dengan perkosaan. Di negara-negara yang perempuannya memakai pakaian yang minim justru kekerasan seksual mendekat angka NOL.
Sebaliknya, fakta di Indonesia menunjukkan korban kekerasan seksual justru memakai pakaian yang nyaris menutup seluruh badannya. Lihat saja Agni, bukan nama sebenarnya, mahasiswi UGM Yogyakarta yang jadi korban kekerasan seksual ketika KKN di Maluku (2017) justru oleh pejabat di UGM disalahkan dan disebut sebagai pemicu kekerasan seksual.
[Baca juga: "Rekomendasi Laki-laki" Selesaikan Kasus (Hukum) Perkosaan Mahasiswi UGM?]
Pelecehan seksual terhadap seorang penumpang bus TransJakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, beberapa tahun yang lalu juga berpakaian yang hanya menunjukkan wajah. Sayang, berita kompas.com tidak merinci kondisi siswa-siswi yang jadi korban keganasan guru olahraga di SDN Kauman 3 Kota Malang.
Celakanya, RUU Penghentian Kekerasan Seksual yang didengung-dengungkan sebagai upaya mengerem kekerasan seksual sama sekali tidak ada pasal yang memberikan sanksi pidana dan denda kepada orang-orang yang melakukan kekerasan seksual kedua (the second sexual violence) terhadap korban.
[Baca juga: Wartawan Sebagai Pelaku "The Second Rape" dalam Berita Perkosaan]
Maka, sampai kapan pun kekerasan seksual akan terus terjadi di Indonesia biar pun RUU tsb. disahkan karena pelaku kekerasan seksual merasa dirinya 'di atas angin'.
[Baca juga: Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak-anak dan Perempuan "di Atas Angin"]
Dua menteri perempuan, misalnya, membela 14 pemerkosa dan pembunuh gadis cilik, Yy, di Bengkulu beberapa tahun yang lalu.