*Vonis terhadap WN Inggris penampar petuas Imigrasi naikkan martabat Bangsa Indonesia di mata dunia
Perempuan Inggris penampar petugas imigrasi divonis penjara di Bali. Ini judul berita "BBC News Indonesia" (6/2-2019). Ini lompatan besar karena selama ini kalangan 'kulit putih' atau 'bule' ditempatkan sebagai 'tamu terhormat', terutama di sektor pariwisata, terutama di Bali. Sedangkan di Batam perlakuan yang berlebihan diberikan kepada tamu WN Singapura dan Malaysia.
Supremacism adalah cara menempatkan satu ras tertentu, dalam hal ini 'kulit putih', terutama Eropa Barat, Australia dan Amerika, sebagai orang yang lebih unggul dari bangsa Indonesia sehingga berhak memperoleh perlakuan khusus walaupun pada posisi dan porsi yang sama dengan bangsa lain, dalam hal ini Indonesia. Dalam KBBI yang ada adalah supremasi yang disebut sebagai "kekuasaan tertinggi (teratas)".
Perlakuan khusus kepada 'bule' sangat kental dalam pelayanan di sebagian besar sarana pariwisata di Bali.
"Morning, Sir." Itulah sapaan karyawan di restoran sebuah hotel berbintang empat di Sanur, Denpasar, Bali, sambil membungkukkan badan menyilakan dengan dua tangan. Karyawan cewek tadi mengikut pasangan bule yang hanya memakai celana pendek dan kaos kutang serta sandal jepit itu ke meja yang dituju pasangan bule itu.
Ketika saya yang memakai sepatu, celana panjang dan kemeja yang dimasukkan karyawan di pintu restoran tadi menyapa pun tidak. Bahkan buang muka. Hanya petugas di meja yang bertanya: "Dari kamar berapa, Pak." Nadanya pun seperti interogasi.
Hanya itu. Selebihnya? Self service. Sedangkan pasangan bule tadi langsung ditawari minuman sambil memberikan senyuman dan 'keramahan' sambil membawa dua teko berupa pilihan kopi dan teh.
Padahal, saya adalah tamu yang menginap beberapa malam di hotel itu karena ada pelatihan yang juga dilangsungkan di salah satu ruang meeting hotel tsb. Ironis.
Yang wajar-wajar sajalah. Toh pembayaran sama. Kecuali bule itu bayar berlipat ganda, tapi itu pun tidak dikenal di pelayan secara umum kecuali room services dan dari kamar suite.
"Bang, kita jangan bikin pelatihan Jumat sampai Minggu, ya." Inilah permintaan teman dari sebuah LSM di Batam, Kepri. Rupanya, pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu semua kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata di Batam hanya melayani tamu-tamu dari Singapura dan Malaysia. Bahkan, dulu mereka hanya mau menerima ringgit dan dolar Singapura.
Taqaddas berurusan dengan Imigirasi karena dia sudah melewati masa tinggal di Indonesia. Laporan "BBC News Indonesia" menyebutkan Taqaddas sudah melewati masa tinggal (over stay) selama lima bulan. Sesuai dengan Pasal 78 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, tiap warga negara asing yang melewati masa tinggal harus membayar Rp 300.000 per hari.
Selain menampar Ardyansyah, 28, petugas Imigrasi di Bandara Ngurah Rai tanggal 28/7- 2018 perempuan kelahiran Lahore, Pakistan, itu juga mencaci-maki Ardiansyah. Bahkan, Taqaddas juga memaki majelis hakim yang memvonis dia. Sebelumnya juga Taqaddas mencaci-maki polisi yang mengawal sidang ketika pembacaan tuntutan. Jaksa dari Kejari Badung yang jemput paksa Taqaddas di Lippo Mall Kuta juga ditendang. Ulah Taqaddas ini juga menunjukkan dia merasa lebih unggul karena memegang paspor Inggris.
Sudah saatnya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak pada tempatnya ada warga yang menerapkan supremacism di ranah publik. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H