Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Direktur HRW Lancarkan Provokasi Terhadap (Kebijakan) Presiden Jokowi

20 Januari 2019   08:42 Diperbarui: 21 Januari 2019   19:16 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pakchinanews.pk)

Disclaimer: Artikel ini tidak ada kaitannya dengan dukungan terhadap Pemerintahan Jokowi/JK karena ulasan murni berdasarkan fakta.

"Presiden Jokowi memilih tidak menggunakan kemampuan politiknya untuk mencabut peraturan diskriminatif atau melindungi minoritas dari pelecehan," kata Elaine Pearson, Direktur HRW di Australia. Ini kutipan dalam berita "Human Rights Watch Nilai Indonesia Kurang Berusaha Atasi Intoleransi" (abc.net.au, 19/1-2019)

Ini orang benar-benar provokator. Sontoloyo. Jangankan peraturan daerah (Perda) yang terkait dengan syariah, Perda yang sema-mata terkait dengan perizinan pembangunan pun tidak bisa dicabut oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI. Kekuatan hukum Perda yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota  dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan menganulir wewenang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencabut Perda (kompas.com, 14/6-2017).

Rupanya, Pearson tidak mendapat informasi yang akurat tentang penolakan daerah terhadap rencana Kemendagri mencabut perda-perda yang menghambat laju pembangunan, terutama tentang perizinan.

Bahkan, isu berkembang dengan menggiring opini publik bahwa yang akan dicabut adalah perda syariah. Maka, penolakan itu pun dibalut pula dengan isu syariah sehingga yang mencuat ke permukaan adalah pemerintah (baca; Jokowi) akan mencabut perda-perda syariah.

Dalam berita ada pernyataan: Sepanjang tahun 2018, HRW menilai Indonesia, dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo, mengambil langkah yang dianggap "kecil" untuk melindungi warga yang hak-haknya rentan dirampas.

Lagi-lagi HRW yang beken sebagai organisasi global ternyata cetek pemikirannya. Sejak UU Otda disahkan (2004) Indonesia sudah jadi 'negara federal' yang berkuasa penuh di provinsi adalah gubernur, bupati di kabupaten dan walikota di kotamadya.

Lagi pula kalau laporan ini memang dibuat dengan niat adil dan jujur, maka bandingkan, dong, dengan kepemimpinan Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini baru jujur dan adil. Kalau hanya melihat pemerintahan Presiden Jokowi itu sama saja dengan 'laporan pesanan'. 

Tidak ada lagi garis komando dari presiden-menteri-gubernur-bupati/walikota. Pusat hanya berwewenang urus moneter, luar negeri dan hankam. Maka, semasa Presiden Gus Dur dua departemen (Sosial/Depsos dan Penerangan/Deppen) ditutup karena tidak ada lagi yang mereka kerjakan. Semua urusan sosial dan informasi sudah ada di tangan daerah.

Ketika ada Perda yang berpotensi menindas kaum minoritas, sudah jelas Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa karena MK sudah menganulir wewenang Mendagri mencabut Perda. Ini fakta hukum.

Badan atau lembaga sekelas PBB pun ternyata hanya berani ‘melawan’ Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terkait dengan hukuman mati. Padahal, Indonesia jauh di bawah Cina, Iran, Irak, Arab Saudi, Pakistan, AS, dll. dalam jumlah eksekusi mati. Lagi pula vonis hukuman mati dilakukan di pengadilan negeri melalui sidang terbuka dan ada beberapa opsi pembelaan, mulai dari banding, kasasi sampai peninjuan kembali (PK).  

(Baca juga: PBB Hanya Berani "Tembak" Indonesia dan Abaikan Eksekusi Mati di Negara Lain)

Ada lagi pernyataan: Peraturan Daerah Syariah yang diterapkan Provinsi Aceh juga kembali jadi sorotan, setelah di bulan September 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen melarang pasangan yang bukan suami istri duduk semeja di restoran.

Lagi-lagi HRW gede omong. Pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Aceh diberikan otonomi khusus dengan landasan syariah Islam. Waktu itu Gus Dur ingatkan hal itu bertentangan dengan UUD '45, tapi Presiden Megawati tetap pada pendiriannya. Bahkan, dalam piagam damai Helsinki ada ketentuan yang menyebut Aceh mempunyai partai sendiri, lambang, mata uang dan himne sendiri. 

Dan ini diterima oleh pemerintah, waktu itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (2005). Ini semua membuat Aceh 'merdeka' secara de facto.

Disebutkan pula: HRW juga mencatat ada 69 insiden mematikan yang terjadi sejak tahun 2010-2018 di provinsi Indonesia paling timur tersebut, dengan korban tewas mencapai 95 orang, berkaitan dengan unjuk rasa atau pengibaran bendera Papua Merdeka.

Insiden yang disebut HRW tentu perlu diurai karena ada yang merupakan kejadian kriminal sehingga tidak terkait langsung dengan HAM. Lagi pula peristiwa yang terjadi di era pemerintahan sebelum Jokowi-JK tentulah tidak mutlak tanggung jawab Jokowi-JK.

Ada pula pernyataan yang ngawur: Soal hak komunitas LGBT, Pemerintahan Presiden Jokowi telah dianggap gagal melindungi hak-hak mereka sehingga menyebabkan meningkatnya epidemi HIV di Indonesia.

Ini omong kosong.

Pertama, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia dipicu oleh perilaku seksual laki-laki heteroseksual yang sering seks tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK)

Kedua, sejak reformasi lokalisasi sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK yang juga dimanfaatkan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui sosialisasi pemakaian kondom semua sudah ditutup. Akibatnya, tidak ada lagi seks aman yang mendorong insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui seks dengan PSK.

Ketiga, yang kasat mata hanya transgender (waria), sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenal secara fisik.

[Baca juga: LGBT Sebagai Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran]

Keempat, seks pada lesbian bukan faktor risiko penularan HIV seara seksual karena tida ada seks penetrasi.

[Baca juga: Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoax]

Kelima, HIV/AIDS pada gay ada di komunitas gay.

Keenam, HIV/AIDS pada transgender (waria) ada di komunitas waria yang sebagian terkait dengan perilaku sebagian laki-laki heteroseksual.

Ketujuh, beberapa daerah menerbitkan Perda anti LGBT, tapi pemerintah tidak bisa intervensi karena ada putusan MK tadi.

Pernyataan ini bernada provokasi: HRW juga mencatat sejumlah sikap Indonesia terhadap kasus pelanggaran hak asasi di dunia, termasuk sikap Indonesia yang tidak akan ikut campur atas penahanan warga Muslim Uighur di wilayah Xinjiang China.

Bukan hanya Indonesia yang tidak bersikap terhadap Cina terkait dengan Muslim Uighur, tapi juga beberapa negara Islam menempuh langkah yang sama. Lagi pula Kementerian Luar Negeri Indonesia juga telah menyampaikan keprihatinannya kepada duta besar China di Jakarta, yang disaat bersamaan juga mendapat tekanan dari kelompok dan organisasi Muslim (abc.net.au. 24/12-2018).

Pengamat mengatakan bahwa hal ini terjadi karena Cina tidak pernah mencampuri urusan dalam negeri negara lain biar pun menyangkut komunitas Cina. Perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur merupakan urusan dalam negeri Cina karena bukan karena isu agama tapi terkait dengan politik dalam negeri Cina (abc.net.au. 24/12-2018).

Sangat disayangkan lembaga global sehebat HRW ternyata lebih memilih provokasi daripada menyampaikan fakta di ranah sosical settings. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun