Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujaran Kebencian yang Mengganjal Kemajuan Bangsa

20 Januari 2019   05:13 Diperbarui: 20 Januari 2019   07:03 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah yang tertulis (dalam Bahasa Inggris) pada sebuah foto di situs dailywire.com: Hate Never Made Any Nation Great [Kebencian Tidak Pernah Membuat Bangsa Mana pun Jadi Hebat]. Gambar itu ditemukan ketika mencari gambar di Google untuk ilustrasi berita tentang hoax.  

Satu dekade belakangan ini, terutama sejak setiap orang bisa menyebarkan informasi yaitu melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dll.) yang ramai hanya soal ujaran kebencian (hate speech), caci-maki, ejekan, fitnah dan kabar bohong.

Sudah banyak pengguna media sosial yang mendekam di balik jeruji besi di lembaga pemasyarakatan (Lapas) hanya karena menyebarkan hoax, terutama terkait dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Kegilaan para pembuat, pengunggah dan penyebar hoax kian menjadi-jadi karena ada segelintir orang yang mengatakan bahwa pembatasan konten di media sosial dengan menerapkan hukum, dalam hal ini UU ITE, mengekang kebebasan berekspresi. Orang-orang ini memang keblinger karena memberikan ruang bagi kejahatan di dunia maya.

[Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?]

Ratusan tahun sudah jurnalistik melalui koran (setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg tahun 1456), menjadi bagian dari kehidupan di dunia dengan berbagai aturan, bahkan dengan sensor keras dari pemerintah, tapi tetap bisa menjalankan peran sebagai 'penyambung lidah rakyat' dengan kritik sosial.

Ketika media sosial, Facebook, Twitter, Instagram, Line, Telegram, dll. mulai jadi program di telepon pintar satu dekade belakangan ini mulailah muncul masalah baru yaitu penyebaran kabar atau informasi bohong (hoax), ujaran kebencian, caci-maki, ejekan, fitnah, dll.

Penelitian BIN (Badan Intelijen Negara) menunjukkan 60 persen konten media sosial di Indonesia adalah hoax (kompas.com, 15/3-2018). Kondisinya kian runyam karena pengguna media sosial yang tergolong sebagai 'the haters' akan menjadikan hoax yang sesuai dengan kebencian mereka sebagai informasi yang selanjutnya diteruskan atau disebarkan.

[Baca juga: "Penggemar" Hoax Justru Mengabaikan Berita Faktual di Media Mainstream]

Wartawan bekerja dengan pijakan UU dan Kode Etik Jurnalistik tapi tetap bisa melancarkan kritik dengan tata bahasa baku yang lolos dari jerat hukum. Sebaliknya, konten media sosial menggunakan kalimat yang mengandung ujaran kebencian, ejekan, caci-maki dan fitnah untuk menyerang pihak lain.

[Baca juga: Soal Tahun Kelulusan Jokowi, Inilah Beda antara (Kerja) Wartawan dan Netizen]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun