Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Prostitusi "Artis" (Bisa) Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS

6 Januari 2019   14:29 Diperbarui: 13 Juli 2020   11:45 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: voicesofafrica.co.za)

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Mereka melakukan seks dengan laki-laki yang berganti-ganti. Risiko tertular HIV/AIDS bisa terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang membeli seks kepada 'artis' pelaku prostitusi mengidap HIV/AIDS.

Ilustrasi (Sumber: soc.ucsb.edu)
Ilustrasi (Sumber: soc.ucsb.edu)
Terkait dengan penangkapan ‘artis’ dan PSK kelas atas terjadi diskriminasi (perlakuan berbeda) dengan PSK jalanan. Ketika razia ‘pekat’ (penyakit masyarakat) yang dilakukan oleh polisi atau Satpol PP atau gabungan semua PSK yang tertangkap langsung menjalan tes HIV dan tes IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, yaitu, al.: kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.].

Tapi, ketika polisi menangkap pelacur-pelacur kelas atas di hotel berbintang tidak pernah dilakukan tes HIV dan tes IMS terhadap ‘artis’ prostitusi dan cewek pelacur online. Celakanya, Dinas Kesehatan setempat juga bungkam dan mendukung diskriminasi yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dengan tidak melakukan tes HIV dan tes IMS terhadap 'artis' prostitusi dan pelacur online, maka polisi membiarkan epidemi HIV/AIDS dan IMS merasuk ke populasi melalui laki-laki yang membeli seks kepada 'artis' prostitusi dan cewek pelacur online.

Di awal tahun 2000-an sebagai pengasuh rubrik "Konsultasi HIV/AIDS" di salah satu koran di Indonesia tengah saya menerima surat dari seorang pejabat tinggi di tingkat kabupaten. Pejabat itu mengatakan dia yakin tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena tidak melakukan hubungan seks dengan PSK di lokalisasi pelacuran.

"Bang, kalau dinas ke Jakarta atau Surabaya saya kencan dengan cewek cantik yang bukan PSK." Inilah alasan pejabat tadi yang membuat dia tidak khawatir kena AIDS. Belakangan saya dengar pejabat itu bulak-balik berobat ke rumah sakit. Padahal, waktu itu saya anjurkan tes HIV. Kalau saja pejabat itu tes HIV tentulah dia akan tetap hidup seperti biasa karena ada obat antiretroviral (ARV) yang menjaga imunitas tubuh dengan kondisi replikasi HIV ditekan sampai tidak terdeteksi dengan tes HIV.

Maka, adalah langkah yang arif dan bijaksana jika laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan 'artis' segera menjalani tes HIV untuk menyelamatkan istri dan anak-anak yang akan dikandung istrinya. Silakan kontak kami jika ada kesulitan untuk mendapatkan konseling dan tempat tes HIV yang konfidensial. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun