Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS sebagai Instrumen "Proxy War" Tegantung Perilaku Seksual Individu

29 Desember 2018   07:15 Diperbarui: 29 Desember 2018   07:29 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: GETTY IMAGES)

Dekan FISIP UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Rinikso Kartono MSi menanggapi ancaman proxy war yang tengah dialami Indonesia. Menurutnya, HIV/AIDS menjadi ancaman tersendiri bagi keamanan dan stabilitas negara. Ini lead pada berita "Dekan Fisip UMM: HIV/AIDS Jadi Ancaman Proxy War" di timesindonesia.co.id (28/12-2018).

Sebagai virus HIV bukan wabah karena tidak bisa menular melalui udara, air dan makanan. Maka, yang jadi persoalan adalah perilaku seksual penduduk sehingga tidak bisa dijadikan alat untuk mengganggu keamanan dan stabilitas suatu negara dalam konteks proxy war (perang dengan memanfaatkan pihak ketiga).

Dalam jumlah yang bisa ditularkan dari pengidap HIV/AIDS kepada orang lain HIV hanya terdapat dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV melalui empat cairan ini harus melalui kegiatan yang sangat khas, yaitu: transfusi darah, hubungan seksual (di dalam dan di luar nikah), serta proses menyusui.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, menyebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 sebanyak 410.788 yang terdiri atas 301.959 HIV dan 108.829 AIDS dengan 15.855 kematian.

Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan (410.788) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Hal ini karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang terdeteksi (410.788) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Dalam  berita disebutkan: Menurutnya, virus yang mampu mematikan itu menjadi ancaman tersendiri bagi Indonesia di tengah ancaman proxy war.

Pernyataan ini tidak akurat karena HIV sebagai virus tidak menyebabkan kematian. Belum ada kasus kematian karena infeksi HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti TB, diare, dll.

Maka, HIV tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk genosida (KBBI: pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) karena tidak bisa ditularkan secara massal.

[Baca juga: Genosida di Tanah Papua dengan HIV/AIDS adalah Hal yang (Nyaris) Mustahil]

Maka, sebesar apa pun dampak HIV/AIDS penularannya tergantung kepada perilaku orang per orang di satu negara. Di negara-negara yang dianggap hidup dengan gaya bebas ternyata kasus HIV/AIDS di negara tsb. justru lebih sedikit daripada di negara dengan kehidupan yang diatur ketat dengan norma dan agama. Ini bisa terjadi karena ada penduduk negeri ini yang melakukan perilaku seksual berisiko di luar negaranya.

Adalah hal yang mustahil negara bisa mengawasi perilaku seksual semua penduduk karena hubungan seksual yang berisiko jadi media penularan HIV bukan hanya melalui hubungan seksual di luar nikah, seperti dengan pekerja seks komersial (PSK), tapi juga di dalam nikah. Itu sebabnya mantan Ketua Umum PB IDI, dr Kartono Mohamad, mengatakan bahwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS adalah masyarakat bukan dokter dan pemerintah.

[Baca juga: Hari AIDS Sedunia, Hanya Masyarakat yang Bisa Cegah Penyebaran HIV/AIDS]

Sayang, Dr  Rinikso dalam diskusi "Indonesia di Tengah Ancaman Proxy War (Analisa Multi Perspektif)" di Kampus III UMM Malang, sama sekali tidak mengaitkan perilaku seksual sebagian warga terkait dengan risiko penularan HIV. Hal ini sangat lumrah karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia banyak kalangan, termasuk menteri kesehatan, selalu menampik HIV/AIDS 'masuk' ke Indonesia. 

Lihat saja pernyataan Menkes Suwardjono Suryaningrat ini: Yang Taat Beragama, Jauh Dari AIDS. Indonesia bukanlah tempatnya penyakit AIDS asal seluruh masyarakatnya tetap berpegang tegus pada ajaran agama yang dipeluknya ataupun norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari (Merdeka, 25/9-1985).

Persoalannya adalah risiko tertular HIV melalui hubungan seksual juga bisa terjadi dalam ikatan pernikahan yang saha menurut agama dan negara. Maka, banyak orang yang termakan mitos sehingga tertular HIV/AIDS.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Maka, kunci untuk menutup kemungkinan HIV/AIDS dijadikan sebagai instrumen proxy war ada pada orang per orang, terutama laki-laki dewasa, yaitu tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS.

[Baca juga: Cegah HIV/AIDS Bukan Jauhi Virus, tapi Jangan Lakukan Perilaku Berisiko]

Nah, sekarang semua terpulang kepada orang per orang, apakah akan tetap melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS atau tidak. Jika tetap melakukan perilaku berisiko tertular HIVAIDS itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terjadi terjadi. 

Pada gilirannya orang-orang yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat sebagai 'silent disaster' (bencana terselubung) yang kelak ditandai dengan 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun