Running text di "KOMPAS TV": (24/12-2018): Kapolri sebut  korban meninggal akibat tsunami di Pandeglang, Banten, banyak ditemukan di vila, resor dan cottage.
Data yang disampaikan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian itu merupakan bukti bahwa jilatan lidah tsunami menerjang warga dan berbagai fasilitas di bibir pantai barat Banten. Ini terjadi karena pantai tersebut berhadapan langsung dengan laut di Selat Sunda. Di tengah selat itu ada gunung berapi yang aktif yaitu Gunung Anak Krakatau.
Sampai Minggu Senin (24/12) sudah dilaporkan 222 kematian di Banten dan Lampung Selatan. Padahal, laporan BMKG menyebutkan tinggi gelombang 0,9 meter. Bisa kita bayangkan kalau gelombang seperti yang terjadi di Aceh (2004) tentulah bibir pantai di bagian barat Banten dan Lampung Selatan akan "lenyap".
[Baca juga: Tsunami Banten dan Lampung Selatan, Tidak Bercermin dari Tsunami Palu?]
Andaikan ada peringatan dini 5 -10 menit, waktu sesempit ini tidak akan bisa menyelamatkan nyawa banyak orang. Seperti yang ada di villa, resor dan cottage mereka bisa saja sedang tertidur atau sedang melakukan kegiatan lain yang bisa saja tidak mendengar atau mengabaikan peringatan dini.
Dengan kecepatan gelombang tsunami yang lebih cepat dari pesawat terbang, apakah bisa menyelamatkan diri dari kamar hotel, villa, resor, cottage atau rumah dengan berlari ke bukit terdekat dalam waktu 10 menit?
[Baca juga: Mitigasi Tsunami, Peringatan Dini vs Relokasi]
Celakanya, talkshow di TV dan wawancara di media cetak dan media online hanya berkutat soal penyebab tsunami. Terjadi perdebatan karena perbedaan pendapat.Â
Tapi, yang perlu diingat adalah biar pun penyebab diketahui tidak otomatis bisa menghentikan tsunami-tsunami berikutnya karena bisa saja penyebabnya berganti-ganti. Lagi pula bagaimana bisa mencegah letusan gunung berapi dan menghadang pergeseran kerak bumi.
[Baca juga:Â Tanpa Regulasi, Tsunami akan Terus Makan Korban]
Tsunami besar yang melanda sebagian wilayah timur laut Jepang tahun 2011 hanya memakan korban belasan ribu. Ini terjadi karena Jepang merelokasi permukiman dari kawasan pantai yang pernah diterjang lidah tsunami. Di daerah pantai hanya ada industri dan kegiatan pariwisata tapi tidak boleh bermalam.
[Baca juga: Relokasi Permukiman dan Garis Pantai yang Terdampak Bencana Tsunami]
Pantai-pantai barat Pulau Sumatera, pantai barat Banten, pantai selatan Pulau Jawa, Pulau Bali, NTB, NTT, Papua Barat dan Papua, serta pantai di Pulau Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara adalah kawasan yang bisa jadi terjangan tsunami. Garis pantai di daerah-daerah ini sudah pernah diterjang lidah tsunami.
Apa pun penyebab tsunami yang jelas kemungkinan tsunami terjadi lagi tetap ada. Maka, langkah Jepang merelokasi permukiman dari terjangan lidah tsunami merupakan cara yang tepat. Ini jauh lebih baik daripada mengembangkan peralatan canggih untuk peringatan diri. Di kawasan pantai yang bisa disentuh lidah tsunami hanya untuk industri dan fasilitas pariwisata tapi tidak boleh ditinggali.
Dalam kaitan itulah talkshow di TV dan berita di media cetak serta media online lebih arif membicarakan langka ke depan untuk menghindarkan korban nyawa. Perbincangan tentang penyebab tsunami adalah masa lalu dan tidak akan bisa dijadikan alat untuk mencegah tsunami (berikutnya).
Maka, media diharapkan bisa meningkatkan pemahaman masyarakat tentang  tsunami  karena tidak bisa diprediksi. Biar pun ada peringatan diri tidaklah mudah menyelamatkan diri, apalagi harus mengurus istri, anak dan mertua.
Tentu saja pemerintah-pemerintah daerah pun diharapkan lebih aktif melakukan sosialisasi agar masyarakat paham dan dengan sukarela (mau) direlokasi. Hanya ini langkah yang bisa menyelamatkan nyawa dari kematian yang sia-sia serta aset warga dan pemerintah. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H