Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tsunami Banten dan Lampung Selatan, Tidak Bercermin dari Tsunami Palu?

23 Desember 2018   07:38 Diperbarui: 24 Desember 2018   07:11 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Lagi-lagi soal mitigasi tsunami, apakah pilih peringatan dini atau relokasi?

Tsunami di Aceh (2004), Mentawai (2010), Palu (28/9-2018) dan hari ini (23/12-2018) di pesisir pantai Anyer sampai Carita (Banten) serta pesisir selatan Lampung Selatan (Lampung) sudah bisa jadi bahan pertimbangan terkait dengan penanganan dampak (mitigasi) tsunami. Pilih peringatan diri atau relokasi.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR, sudah memilih yang terbaik untuk Palu yaitu merelokasi permukiman yang diterjang tsunami. Tapi daerah-daerah yang juga sangat potensial jadi terjangan tsunami, seperti pesisir barat Banten dan pesisir selatan Lampung tidak menjadikan tsunami Palu sebagai cermin. Maka korban nyawa dan harta benda pun berjatuhan.

[Baca juga: Mitigasi Tsunami, Peringatan Dini vs Relokasi]

Jalam raya Anyer sampai Carita ada di bibir pantai. Bangunan-bangunan, rumah, villa, hotel, dll. ada di belakang jalan raya sehingga bersentuhan langsung dengan pantai bahkan lidah ombak air pasang menyentuh jalan raya dan bangunan.

Memang, tidak mudah merelokasi permukiman dan sarana ekonomi, seperti hotel dan industri, dari pesisir yang potensial diterjang tsunami. Tapi, tidak ada pilihan karena Jepang sudah membuktikan relokasi jauh lebih bermanfaat daripada mengembangkan peralatan canggih untuk memberikan peringatan dini tsunami.

Soalnya, kecepatan lidah gelombang tsunami bisa secepat pergerakan kapal terbang sehingga mustahil penduduk di bibir pantai bisa menyelamatkan diri. Apalagi harus membawa bayi, anak-anak dan lansia tentulah tidak mudah berlari menghindari jilatan lidah tsunami.

Di sepanjang pesisir pantai Merak-Anyer-Carita-Ujung Kulon di Banten berhadapan langsung dengan Selat Sunda. Begitu juga dengan pesisir selatan Lampung Selatan (Lampung) juga langsung berhadapan dengan Sunda.

Yang jadi masalah besar di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau. Gunung Krakatau sendiri meletus 27 Agustus 1883 disebut sebagai salah satu letusan gunung berapi terdahsyat sepanjang sejarah dunia.

Memang, penyebab atau pemicu tsunami yang terjadi pada dinihari 23/12-2018 masih dalam perbincangan kalangan ahli. Laporan stasiun TV nasional menyebutkan ada warga di pesisir Lampung Selatan yang melihat percikan api di Gunung Anak Krakatau. Ada juga pendapat yang mengatakan bulan purnama yang memicu gelombang pasang yang terjadi di Selat Sunda.

Karena dampak tsunami yang besar dan potensinya juga besar di pesisir Banten dan Lampung selatan terutama bisa terjadi karena letusan gunung berapi Anak Krakatau, maka tidak lagi ada waktu untuk perdebatan ilmiah sekalipun karena gunung itu pasti akan meletus dan memicu gelombang pasang yang besar sebagai tsunami.

Kalau saja Pemprov Banten mengajak pemerintah daerah di sepanjang pesisir barat Banten untuk mengajak masyarakat memahami potensi tsunami tentulah penanggulangan bencana akibat tsunami jauh lebih mudah. Secara perlahan dan bertahap disiapkan relokasi, untuk tahap awal permukiman penduduk yang selanjutnya sarana pariwisata dan industri.

Tsunami di Palu, Sulteng, yang dipicu gempa rupanya tidak membuat Pemprov Banten mawas diri. Tinggi gelombang tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung Selatan, seperti dilaporkan  sekitar 0,9 meter (kompas.com, 23/12-2018). Tapi, dengan besar gelombang seperti ini saja sudah dilaporkan belasan korban tewas dan kerusakan bangunan di sepanjang bibir pantai barat Banten dan Lampung Selatan proak-poranda.

Akankah kita tetap berserah diri dalam menjawab tantangan bencana alam atau melakukan langkah-langkah yang konkret untuk menyelematkan nyawa dari kematian yang sia-sia dan harta benda? *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun