Perilaku Homoseksual Menjadi Penyebab Utama Tingginya Penularan HIV/Aids di Sukoharjo. Ini judul berita di solo.tribunnews.com (25/11-2018).
Dilaporkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Sukoharjo, Jateng, sampai bulan Oktober 2018 sebanyak 506 dengan 72 kematian yang tersebar di 12 Kecamatan. Dari jumlah ini ada lima ibu hamil.
Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS ada yang tidak masuk akal dari judul berita di atas, yaitu:
Pertama, homoseksual sebagai orientasi seksual dikenal ada dua yakni lesbian (perempuan) dan gay (laki-laki).
Kedua, lesbian bukan faktor risiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS karena tidak seks penetrasi.
Ketiga, tidak ada kasus yang dilaporkan dengan faktor risiko lesbian.
Keempat, gay adalah laki-laki yang tertarik secara seksual dengan laki-laki sehingga mereka tidak punya pacar cewek atau istri.
Lalu, bagaimana gay jadi penyebab utama penyebaran HIV/AIDS yang tinggi di Sukoharjo?
Wong, mereka tidak seks dengan perempuan. Gay seks dalam komunitas dengan sesama gay.
Maka, pernyataan yang mengabaikan fakta terkait perilaku heteroseksual yang berisiko merupakan bentuk penyangkalan yang pada gilirannya jadi pendorong penyebaran HV/ADS di Sukoharjo.
Disebutkan oleh Garis Subani, Koordinator dan Penanggungjawab Yayasan Sahabat Sehat Mitra Sebaya (Yasema), penyebab terbesar penularan HIV di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2018 adalah perilaku seks menyimpang seperti homoseksual.
Terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS tidak ada 'seks menyimpang' yang ada adalah seks berisiko yaitu hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal, dan seks oral) di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki atau salah satu pasangan tidak memakai kondom.
Apakah laki-laki bersuami yang melacur bukan 'perilaku seks menyimpang'? Perilaku ini jelas melawan hukum dan norma sosial, agama dan hukum.
Lima ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS merupakan bagian dari perilaku suami yang 'menyimpang' dari norma, agama dan hukum yaitu mereka seks tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di Sukoharjo atau di luar Sukoharjo.
Di bagian lain Subandi mengatakan: "Tren peningkatan angka kasus dari tahun ke tahun di Kabupaten Sukoharjo berubah-ubah, Pada tahun 2010 didominasi pemakai NAPZA suntik, tahun 2012 didominasi oleh pekerja seks, Tahun 2014 Ibu rumah tangga, dan hingga saat ini homoseksual menjadi penularan terbanyak."
Kasus banyak terdeteksi pada penyalah guna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian jarum karena mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak mengikuti rehabilitasi.
Kasus HIV/AIDS pada pekerja seks justru terkait erat dengan penduduk laki-laki karena laki-laki yang menularkan HIV ke pekerja seks dan sebaliknya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV ke pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK bisa sebagai suami sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, adalah hal yang logis ketika di Sukoharjo banyak terdeteksi ibu rumah tanga yang mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan pula bahwa: Hal ini (kasus HIV/AIDS-pen.) tentu saja mengagetkan banyak pihak, mengingat sosialisasi yang dilakukan Pemkab Sukoharjo beserta stakeholder sudah gencar dilakukan.
Persoalannya adalah materi sosialisasi, seperti cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran. Padahal, pekerja seks tidak hanya di lokalisasi pelacuran tapi juga di banyak tempat dan transaksi seks terjadi melalui berbagai modus, bahkan melalui media sosial.
Disebutkan bahwa Subandi berharap tidak ada lagi orang yang terkena virus HIV/AIDS .... Persoalannya adalah apa program konkret yang dijalankan oleh Dinkes Sukoharjo untuk mencegah penularan HIV terhadap warga Sukoharjo?
Sosialisasi? Ini omong kosong karena sosialisasi sudah dilakukan sejak 'zaman batu' (baca; sejak awal epidemi). Masalahnya, materi hanya mitos dan butuh waktu dari menerima sosialisasi sampai mengubah perilaku. Pada rentang waktu ini bisa saja terjadi penularan HIV karena melakukan perilaku berisiko.
Berita ini sama sekali tidak memberikan gambaran yang riil tentang epidemi HIV/AIDS di Sukoharjo terkait dengan faktor risiko dan tidak ada pula informasi tentang cara-cara pencegahan yang konkret. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H