Tanggapan terhadap berita Idap HIV, Tiga Anak di Samosir Dilarang Sekolah dan Terancam Terusir (VOA Indonesia, 21/10-2018) menunjukkan tingkat pemahaman penanggap terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.
[Baca juga: AIDS di Samosir, 3 Anak-anak Pengidap HIV/AIDS Terancam Diusir]
Coba simak ini: Seorang netizen dengan akun bernama Kristian Horison Pandumpi yang menulis bahwa anak-anak tersebut harus "dikarantina dengan tepat". (voaindonesia.com, 23/10-2018).
Kristian rupanya lupa kalau di masyarakat ada warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Nah, ini bagaimana Kristian?
Justru orang-orang yang diketahui status HIV-nya jauh lebih baik karena kita bisa menghindari perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV dengan mereka. Sebaliknya, kita tidak menyadari bahwa pasangan kita ternyata pengidap HIV/AIDS.
Seperti yang dialami seorang guru agama di Sumut ini. Dia heran mengapa anak keduanya lahir dengan HIV/AIDS? Tentu saja sebagai guru agama dia tidak pernah melakukan seks yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS. Ternyata HIV/AIDS pada anak keduanya berasal dari istri kedua.
[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]
Lagi pula kalau setiap warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS kemudian dikarantina tentulah jadi masalah baru untuk menyiapkan karantina. Kalau seorang suami dikarantina, siapa yang mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya?
Jika dikarantina tentulah biaya hidup pengidap HIV/AIDS harus ditanggung pemerintah, sedangkan manfaatnya tidak ada.
Pemilik akun MrPunk yang menekankan yang dialami tiga bocah (3 anak-anak pengidap HIV/AIDS di Samosir, Sumut-pen.) itu adalah pertanda betapa pentingnya edukasi tentang HIV/AIDS, "agar tidak salah paham". (voaindonesia.com, 23/10-2018).
MrPunk benar. Seperti pernyataan nitizen Kristian di atas menunjukkan pemahaman dia terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis ada di titik nadir.