Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Bahaya LGBT" di Cianjur, Mustahil Pemkab Bisa Tanggulangi AIDS

21 Oktober 2018   02:37 Diperbarui: 22 Oktober 2018   12:23 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Pemkab Cianjur abaikan laki-laki 'hidung belang', infantofilia, pedofilia dan pelaku sodomi

Edaran 'bahaya LGBT' di Cianjur, Jawa Barat, memicu polemik. Ini judul berita di "BBC News Indonesia" (20/10-2018). Surat Edaran Bupati Cianjur Nomor 400/5368/Kesra Tentang Penyampaian Khotbah Jumat Terkait LGBT.

Dalam berita disebutkan: Warkat tertanggal 15 Oktober 2018 itu menginstruksikan pengurus masjid, sekolah, dan perangkat daerah menyosialisasikan "bahaya LGBT serta HIV/AIDS".

Alam Pikiran

Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Cianjur menyebutkan, jumlah kasus HIV/AIDS secara keseluruhan sejak 2001 hingga September 2018 mencapai sebanyak 916 orang (republika.co.id, 10/10-2018).

Jika dikaitkan dengan HIV/AIDS, maka edaran tsb. sangat naif karena:

Pertama, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) adalah orientasi seksual yaitu homoseksual yaitu secara seksual tertarik kepada sejenis (lesbian dan gay), sedangkan biseksual adalah orang-orang dengan orientasi seksual berupa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) dan homoseksual. Transgender ada yang heteroseksual, misalnya punya istri dan anak, ada pula yang homoseksual.

[Baca juga: Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran]

Kedua, LGBT sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran sehingga tidak bisa dikenali kecuali transgener (waria). Kita tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang ada di alam pikiran setiap orang terkait dengan (orientasi) seks.

Ketiga, kalau pun disebut bahaya bukan LGBT sebagai orientasi seksual, tapi jika LGBT melakukan hubungan seksual seperti orientasi seksualnya. Yang perlu diingat adalah kalangan heteroseksual pun banyak yang melakukan seks ala LGBT, seperti suami yang memaksa istri seks oral dan melakukan seks dengan posisi "69".

[Baca juga: Heteroseksual pun Tidak Sedikit yang Lakukan Perilaku Seksual LGBT]

Keempat, L pada LGBT adalah lesbian yang merupakan orientasi seksual sebagai homoseksual yang tidak menjadi faktor risiko penularan HIV karena tidak ada seks penetrasi. Tidak ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seks lesbian. Maka, penyebutan L yang dikaitkan dengan HIV/AIDS adalah ngawur.

Kelima, kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap (istri). HIV/AIDS hanya ada di komunitas gay.

Yang jadi persoalan besar dalam epidemi HIV/AIDS terkait dengan perilaku seksual, adalah:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.), di wilayah Kab. Cianjur, di luar wilayah Kab. Cianjur dan di luar negeri.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV pada istrinya. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI);

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.), di wilayah Kab. Cianjur, di luar wilayah Kab. Cianjur dan di luar negeri. 

Dalam kehidupan sehari-hari perempuan ini bisa sebagai seorang istri sehingga ada risiko penularan HIV pada suaminya. Ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui ASI;

PSK Tidak Langsung

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung. 

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV pada istrinya. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan ASI;

Yang dimaksud dengan:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Pertanyaan untuk Bupati Cianjur: Apakah ada jaminan di wilayah Kab. Cianjur tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung?

Kalau jawabananya TIDAK, maka itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terus terjadi yang pada gilirannya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(4). Laki-laki  heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi waria tidak memakai kondom. Studi di Surabaya (1990-an) menunjukkan laki-laki heteroseksual jadi 'perempuan' yang dianal (disebut ditempong) oleh waria yang berperan sebagai 'laki-laki' (disebut menempong). Kondisi ini membuat laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki ini jadi jembatan penyebaran HIV dari kominitas   waria ke masyarakat. Yang punya istri akan menularkan HIV ke istrinya, jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI;

(5). Laki-laki biseksual (heteroseksual dan homoseksual) yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, denan PSK langsung, dengan PSK tidak langsung, dengan gay dan dengan waria. Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV dari kominitas PSK, gay dan waria ke masyarakat. Yang punya istri akan menularkan HIV ke istrinya, jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.

Dari lima poin di atas hanya B (biseksual) yang terkait langsung dengan LGBT (poin 5). Sedangkan poin 1, 2, 3 dan 3 sama sekali tidak terkait langsung dengan LGBT.

Dampak poin 1, 3, 4 dan 5 adalah infeksi HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Ini juga luput dari perhatian Pemkab Cianjur karena tidak ada mekanisme yang konret tanpa melawan hukum dan melanggar HAM untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS pada ibu hamil. 

Begitu juga dengan kasus HIV/AIDS pada warga yang tidak terdeteksi tidak ada langkah konkret Pemkab Cianjur untuk mendeteksinya sehingga terus-menerus terjadi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Ini terjadi karena warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menyebarkan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Melawan Hukum dan HAM

Pernyataan juru bicara Pemkab Cianjur, Gagan Rusganda, yang mengutip temuan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Cianjur yang menyebutkan pada rentang Januari hingga Juli 2018, jumlah orang dengan orientasi seksual lelaki seks lekaki (LSL) sebanyak 617 orang, turun dibandingkan tahun lalu yang angkanya sekitar 2.800 jiwa.

Dari data KPA Cianjur ini yang perlu ditanya adalah: Siapa-siapa saja (orientasi seksual) yang disebut LSL tsb.?

Soalnya, seperti disebutkan pada poin 4 juga terasuk LSL. Juga biseksual pada poin 5 termasuk LSL juga.

Jika Pemkab Cianjur memakai data KPA Cianjur ini untuk menerbitan surat edaran 'bahaya LGBT' tentulah tidak akurat karena: tidak ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian, gay, serta laki-laki dan perempuan biseksual tidak kasat mata, hanya transgender (waria) yang kasat mata.

[Baca juga: LGBT, Hanya Waria yang Kasat Mata]

Dalam berita disebutkan: Nantinya tiap-tiap perangkat daerah harus menyampaikan informasi tentang bahaya LGBT dan HIV/AIDS.

Seperti dijelaskan di atas bahwa LGBT ada di alam pikiran, lalu di mana bahayanya? Yang jauh lebih berbahaya adalah kalangan infantofilia (laki-laki dewasa yang salurkan seks kepada bayi dan anak-anak usia 0-7 tahun), pedofilia (laki-laki dewasa yang salurkan seks kepada anak-anak usia 7-12 tahun), dan laki-laki dewasa yang lakukan sodomi (perkosaan melalui seks anal).

Rupanya, Pemkab Cianjur menafikan kalangan infantofilia, pedofilia dan pelaku sodomi yang justru merusak moral, serta menebar ketakutan dan penyakit. Ini kasus infantofilia di Cianjur: Seorang anak berusia 4 tahun di Cijedil, Cugenang, Kab Cianjur dilaporkan telah menjadi korban pemerkosaan (video.tribunnews.com, 4/5-2016). 

Kasus sodomi dilaporkan patas.id (23/7-2017): Namun pada 2016, kasus sodomi Cianjur sudah cukup banyak, bahkan dari 70 kasus pelecehan seksual yang terjadi, sediktinya 20 kasus merupakan sodomi. Ini kasus pedofilia: Sebanyak 12 anak menjadi korban pedofil di Kampung Coblong, Desa Talaga, Kecamatan Caringin, Sukabumi, Jawa Barat (Jabar). Para korban diikat tangannya lalu digantung ke atas atap gubuk bambu hingga akhirnya dicabuli satu persatu (inews.id, 25/9-2018).

[Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak Sebagai Pelampiasan Seks]

Disebutkan pula dalam berita: Jika ada warga yang ketahuan memiliki orientasi seksual LGBT akan dilaporkan ke Komisi Penanggulangan AIDS.

Ini perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) karena tidak ada UU yang melarang orientasi seksual. Lagi pula bagimana melarang orientasi seksual karena hanya ada dalam alam pikiran. Yang dilarang oleh hukum adalah LGBT melakukan perbuatan, dalam hal ini hubungan seksual, berupa seks anal dan seks oral.

Pertanyaan untuk Pemkab Cianjur: Apakah suami-suami yang memaksa istri melakukan seks oral dan seks anal terhadap istrinya bukan perilaku LGBT?

Apakah suami yang melakukan perilak LGBT terhadap istrinya juga akan dilaporkan ke KPA?

Dengan langkah ini ('bahaya LGBT') mustahil Pemkab Cianjur, dalam hal ini Dinkes dan KPA, bisa mengendalikan epidemi HIV/AIDS di wilayah Kab. Cianjur.

Ketika Pemkab Cianjur menyasar LGBT terkait dengan epidemi HIV/AIDS, kasus-kasus penyebaran HIV/AIDS di wilayah Kab. Cianjur yang melibatkan poin 1, 2, 3 dan 4 lolos dari penanganganan sehingga insiden penyebaran HIV di masyarakat Kab. Cianjur terjadi secara diam-diam yang merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun