Tapi, persoalan jadi rumit karena praktek PSK tidak dilokalisir. Transaksi seks berisiko tertular HIV/AIDS dengan PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus. Bahkan, memamai alat komunikasi ponsel dan media sosial.
Tanpa ada program konkret, tertutama intervensi terhadap transaksi seks yang melibatkan PSK, maka selama itu pula kasus HIV/AIDS baru akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari ada yang jadi suami, yang tertular HIV/AIDS dari PSK akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Penyebaran HIV di masyarakat terjadi secara diam-diam karena warga Lobar yang tertular HIV/AIDS yang belum terdeteksi tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan warga yang mengidap HIV/AIDS.
Maka, Pemkab Lobar pun dituntut untuk membuat regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Tapa program yang riil penyebaran HIV/AIDS di Lobar ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H