Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

AIDS di Lombok Barat Abaikan Perilaku Seks Laki-laki Heteroseksual

13 Oktober 2018   22:31 Diperbarui: 15 Oktober 2018   18:09 2306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: levistrauss.com)

Meluasnya segmentasi pada kelompok resiko rendah seperti ibu rumah tangga dan balita membuat semua pihak merasa semakin khawatir, mengingat institusi ini dianggap sebagai pertaruhan dan benteng terakhir dalam upaya mencegah meluasnya kasus HIV AIDS di Kabupaten Lombok Barat. Ini pernyataan dalam berita "Pemkab Lobar Gelar Pencegahan Meluasnya HIV/AIDS" di hariannusa.com (10/10-2018).

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Lombok Barat (Lobar), NTB, adalah 240 yang terdiri atas 126 HIV dan 114 AIDS.

Celakanya, dalam berita sama sekali tidak ada pembahasan tentang mengapa ibu rumah tangga sebagai kelompok risiko rendah dan balita tertular HIV. Berita yang bersumber dari kegiatan sosialisasi lebih memilih isu yang sensasional yaitu tentang LGBT daripada melihat perilaku seksual sebagian suami yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Padahal, penyebutan LGBT dikaitkan langsung dengan HIV/AIDS tidak akurat karena tidak ada kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seksual pada Lesbian. Sedangkan HIV/AIDS pada kalangan gay terjadi di kominias gay secara terbatas. HIV/AIDS pada transgender, dikenal sebagai waria, justru tertular dari kalangan laki-laki heteroseksual, sebagai beristri.

Yang jadi masalah besar adalah laki-laki biseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, tapi juga tertarik secara seksual kepada laki-laki. Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari komunitas LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) ke masyarakat, dalam hal ini perempuan sebagai pasangan seks heteroseksual, al. istri.

Sosialiasi juga yang lebih memilih isu yang sensasional dapat dilihat dari pernyataan Bupati Lobar, H. Fauzan Khalid, yang juga Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)  Lobar, yang mengungkapkan kekhawatirannya akan perkembangan Kelompok LGBT yang telah berani menampakkan keberadaaanya secara terang- terangan dan tanpa malu-malu. Kelompok ini merupakan salah satu penyebab kasus HIV AIDS terbanyak juga.

Penularan dan penyebaran HIV/AIDS tidak ada kaitannya secara langsung dengan orientasi seksual. Maka, pernyataan "Kelompok ini merupakan salah satu penyebab kasus HIV AIDS terbanyak juga" tidak tepat karena tidak ada kasus HIV/AIDS pada L (Lesbian) dan kasus HIV/AIDS pada transgender atau waria justru datang dari kalangan laki-laki heteroseksual yang sebagian beristri, selanjutnya suami-suami lain tertular HIV dari waria.

Sebuah studi di Kota Surabaya (tahun 1990-an) menunjukkan yang jadi pelanggan seks waria adalah laki-laki heteroseksual yang beristri. Celakanya, suami-suami itu jadi 'perempuan' (ditempong) ketika seks dengan waria (waria menempong).

Itulah salah satu penyebab kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga yang selanjutnya pada bayi dan balita. Selain dengan waria tidak sedikit pula suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Risiko suami-suami tertular HIV/AIDS melalui seks dengan PSK adalah mereka tidak memakai kondom setiap kali seks dengan PSK.

Jika Pemkab Lobar ingin menanggulangi HIV/AIDS yang ditangani adalah PSK yaitu melakukan intervensi agar setiap laki-laki yang seks dengan PSK wajib memakai kondom. Tapi,ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir. 

Yang perlu diingat adalah penanggulangan HIV/AIDS pada laki-laki yang seks dengan PSK hanya bisa menurunkan jumlah kasus infeksi baru.

Tapi, persoalan jadi rumit karena praktek PSK tidak dilokalisir. Transaksi seks berisiko tertular HIV/AIDS dengan PSK terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus. Bahkan, memamai alat komunikasi ponsel dan media sosial.

Tanpa ada program konkret, tertutama intervensi terhadap transaksi seks yang melibatkan PSK, maka selama itu pula kasus HIV/AIDS baru akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari ada yang jadi suami, yang tertular HIV/AIDS dari PSK akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV di masyarakat terjadi secara diam-diam karena warga Lobar yang tertular HIV/AIDS yang belum terdeteksi tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan warga yang mengidap HIV/AIDS.

Maka, Pemkab Lobar pun dituntut untuk membuat regulasi untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Tapa program yang riil penyebaran HIV/AIDS di Lobar ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun