25 Warga Meninggal Akibat HIV AIDS, Ini yang Dilakukan Dinkes Bandung Barat. Ini judul berita di pikiran-rakyat.com (3/10-2018).
Judul berita ini menyesatkan karena belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Data Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Jabar, sejak tahun 2011 sampai Juli 2018 terdeteksi 323 kasus HIV/AIDS dengan 25 kematian.
Penyesatan kian kental pada lead berita: "Sebanyak 25 orang di Kabupaten Bandung Barat meninggal akibat menderita HIV/AIDS ...."
Tidak semua orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menderita. Semua pengidap penyakit menderita bukan hanya pengidap HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS bisa menderita penyakit lain di masa AIDS jika tidak meminum obat antiretroviral (ARV) dan tidak ditangani oleh dokter.
Pernyataan di lead berita ini juga kacau-balau: Untuk meminimalisasi kasus HIV/AIDS, Dinas Kesehatan setempat mengintensifkan pemeriksaan voluntary counseling and testing (VCT) guna mendeteksi lebih dini resiko tertularnya penyakit tersebut.
Secara empiris menemukan kasus baru bukan mengurangi atau minimalisasi kasus HIV/AIDS, tapi justru menambah jumlah kasus HIV/AIDS. Deteksi dini terkait HIV/AIDS melalui tes HIV di Klinik VCT bukan meminimalkan kasus HIV/AIDS, tapi menambah jumlah kasus baru.
Lagi pula jika deteksi dini menemukan warga yang mengidap HIV/AIDS itu artinya sudah terjadi penularan HIV terhadap warga. Tes HIV melalui deteksi dini ada di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dideteksi melalui tes HIV di Klinik VCT.
Dikatakan oleh Kepala Dinas Kesehatan KBB, Hernawan Widjajanto, didampingi Kasi Pengendalian Penyakit Menular, Asep Sutia, di antara kelompok yang rawan tertular HIV/AIDS, yaitu pelaku heteroseksual, laki seks laki, ibu hamil, dan ibu rumah tangga.
Kerawanan terhadap risiko tertular HIV/AIDS bukan karena orientasi seksual, seperti heteroseksual, tapi karena perilaku seksual yang berisiko tertular HIV pada orang per orang. Misalnya, laki-laki dewasa yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Ibu hami dan ibu rumah tangga tidak rawan tertular HIV karena perilaku seksual mereka tidak berisiko. Mereka berada pada risiko tertular HIV karena suami mereka yang sering melakukan perilaku berisiko.