Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tes HIV Ada di Hilir, Pak Bupati Sikka

21 September 2018   08:42 Diperbarui: 21 September 2018   08:55 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: empowermentprogram.org)

Gebrakan Bupati Sikka: Tes Darah HIV/AIDS Jadi Syarat Masuk Bekerja. Ini judul berita di kompas.com (20/9-2018).

Judul berita ini sensasional tapi tidak ada manfaatnya untuk penanggulangan HIV/AIDS karena tes HIV adalah langkah di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites. Maka, ini bukan gebrakan.

Jika ingin melakukan gebrakan untuk menanggulangi HIV/AIDS, secara empiris hanya bisa menurunkan, sekali lagi menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Supaya dipahami, PSK ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Celakanya, yang bisa diintervensi hanya PSK langsung. Tapi, lebih celaka lagi praktek atau transaski seks yang melibatkan PSK langsung sekarang tidak bisa lagi dijangkau karena tidak dilokalisir.

Sedangkan PSK tidak langsung jelas tidak bisa dijangkau karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus bahkan memakai media sosial.

Di lead berita disebutkan: Bupati Sikka, Nusa Tenggara Timur ( NTT), Fransiskus Roberto Diogo, memastikan akan memeriksa darah semua Aparatur Sipil Negara (ASN) di wilayah itu, untuk mengungkap penyakit mematikan HIV Aids.

Pertama, tes HIV hanya akurat jika darah diambil  minimal setelah tiga bulan tertular HIV. Itu artinya kalau Pak Bupati Roberto akan memeriksa darah semua Aparatur Sipil Negara (ASN), maka harus dilakukan tiap hari karena bisa saja ada ASN yang melakukan perilaku berisiko setelah tes HIV.

Kedua, tes HIV bisa menghasilkan positif palsu dan negatif palsu jika darah diambil di masa jendela yaitu belum tiga bulan tertular Hiv. Positif palsu adalah hasil tes reaktif, tapi tidak ada HIV di darah. Sedangkan negatif palsu adalah hasil tes nonreaktif, tapi HIV ada di darah.

Ketiga, maka semua hasil tes terhadap ASN apa pun hasilnya harus dilakukan tes konfirmasi. Maka, tes HIV dan tes konfirmasi harus dilakukan berulang-ulang.

Keempat, disebutkan 'mengungkap penyakit mematikan HIV Aids'. Sampai hari ini belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Kelima, untuk mengungkap atau mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi diperlukan langkah yang komprehensif, bukan dengan melakukan tes HIV kepada semua warga atau ASN. Ini langkah konyol karena tidak sistematis.

Disebutkan lagi: Tes darah itu lanjut Roberto, dilakukan agar diketahui dan langsung ditangani dengan diberi pengobatan.

Bukan tes darah, tapi tes HIV dengan memakai darah. Hasil tes HIV tidak otomatif akurat karena terkait dengan masa jendela dan hasil tes HIV juga, seperti direkomendasikan WHO, harus dikonfirmasi dengan tes lain.

Orang-orang yang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV tidak otomatis memerlukan pengobatan. Untuk meminum obat antiretroviral (ARV), misalnya, pengidap HIV harus menjalani tes CD4. Jika hasilnya di bawah 350 baru dianjurkan meminum obat ARV.

Dikatakan pula oleh Bupati Roberto: "Saya pernah tiga tahun jadi camat dan tiga bulan pertama langsung kita periksa ibu-ibu. Dari hasil pemeriksaan itu, kita berhasil temukan ada warga yang terinveksi HIV/AIDS, sehingga kita kemudian lakukan pembinaan dan pendampingan."

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Bupati Roberto: Apakah suami ibu-ibu yang terdeteksi HIV juga menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka itu artinya Pak Bupati membiarkan suami ibu-ibu itu menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan juga: Tes darah itu lanjut Roberto, bahkan menjadi syarat untuk tenaga kerja yang akan bekerja di Kabupaten Sikka.

Tes HIV bukan jaminan seseorang akan bebas HIV/AIDS selamanya karena bisa saja setelah tes HIV dengan hasil negatif ybs. melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV. "Tes HIV bukan vaksin, Pak Bupati."

Ada juga pernyataan: Roberto berharap, dengan adanya pemeriksaan darah itu, jumlah penderita HIV di wilayahnya bisa diketahui dengan pasti dan segera dicarikan langkah cerdas untuk penanganannya.

Yang jadi persoalan bukan soal jumlah pengidap HIV/AIDS, tapi perilaku seksual orang per orang. Mendeteksi jumlah warga Sikka yang mengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, tes HIV hanya menjaring warga yang sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.

Masalah utama ada di hulu yaitu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Maka, yang diperlukan adalah langkah konkret untuk menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Indikator insiden infeksi HIV baru pada laki-laki adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Sejak kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Kab. Sikka, NTT, pada tahun 2003 sampai Maret 2018 kasus terbanyak ditemukan pada ibu rumah tangga yaitu 161 dari 537 kasus kumulatif HIV/AIDS  (kupang.tribunnews.com, 2/3-2018). Itu artinya banyak suami di Sikka yang seks tanpa kondom, al. dengan PSK. Dilaporkan ada 35 PSK di Sikka yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (kupang.tribunnews.com, 2/3-2018).

Maka, tanpa langkah konkret dan sistematis, maka Pak Bupati akan terus menemukan kasus HIV baru pada warga melalui tes HIV yang akan terus dilakukan.

Penularan HIV yang terjadi secara diam-diam di masyarakat Sikka jadi 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun