Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS Bukan Soal Gejala, tapi Terkait dengan Perilaku

1 September 2018   15:37 Diperbarui: 2 September 2018   07:42 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini berita di media massa, media online dan media sosial mengumbar gejala-gejala yang disebut-sebut terkait HIV/AIDS. Beberapa gejala disebut-sebut. Padahal, gejala-gejala tsb. tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV, tapi berita-berita tsb. mengesankan orang-orang dengan gejala itu sudah tertular HIV/AIDS.

Hal itu menyesatkan karena ada dua hal penting terkait dengan pemberitaan tentang gejala tsb., yaitu:

Pertama, gejala-gejala tsb. tidak otomatis terkait langsung dengan infeksi HIV karena gejala-gejala tsb. juga bisa sebagai simptom penyakit lain.

Kedua, penyebuatan gejala-gejala tsb. terkait dengan infeksi HIV bisa membuat orang-orang yang tertular HIV merasa tidak mengidap HIV/AIDS karena mereka tidak mengalami gejala-gejala tsb.

Dalam beberapa pertanyaan yang disampaikan melalui SMS, WA, e-mail dan telepon ada yang mengatakan dia tidak tertular HIV biar pun perilakunya berisiko karena sudah bertahun-tahun tidak ada gejala tsb.

Itu artinya berita yang mengumbar gejala-gejala yang disebut terkait HIV/AIDS justru menyesatkan karena bermakna lain pada setiap orang. Lihat saja judul berita ini: Awal 6 Gejala HIV yang Sering Diabaikan (viva.co.id, 8/8-2018). Atau yang ini: Kenali Gejala Terinveksi HIV, Ini Ciri-cirinya (manado.tribunnews.com, 30/6-2018). Ini juga: Waspada, gejala-gejala HIV ini mirip sakit biasa (merdeka.com, 18/4-2018). Tidak ada gejala awal infeksi HIV yang khas.

Yang lain: 5 Gejala HIV Ini Mirip Penyakit Umum (liputan6.com, 31/3-2018). Ini juga: Awas, Alami Gejala Ini, Bisa Jadi Kamu Kena HIV (indowarta.com, 27/6-2018).

Sedangkan judul ini mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS: Sering 'Jajan' di Luar, Hati-hati Tertular HIV/AIDS, Ini Tanda Jika Anda Terjangkit (manado.tribunnews.com, 24/2-2018). Judul ini mitos. Tidak ada kaitan penularan HIV/AIDS dengan 'jajan' di luar karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (jajan, zina, melacur, seks pranikah, selingkuh, dll), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom. Ini fakta.

Ada lagi judul berita yang menghakimi: Empat Tanda Kamu Terkena Penyakit HIV (makassar.sindonews.com, 5/8-2018). Judul berita ini ngawur bin ngaco dan menyesatkan. Biar pun ada 4, 6, dst. gejala-gejala yang disebut terkait HIV/AIDS, kuncinya adalah perilaku berisiko tertular HIV. Kalau tidak pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV maka gejala-gejala tsb. sama sekali tidak ada kaitannya dengan infeksi HIV.

Gejala-gejala yang selalu dikaitkan dengan HIV/AIDS, al. kelenjar membengkak, berkeringat di malam hari, ruam, lesi, sariawan, diare, berat badan turun, dll.

Gejala itu bisa terkait dengan infeksi HIV jika seseorang yang menunjukkan gejala-gejala itu melakukan perilaku berisiko, yaitu:

(1). Pernah atau sering melakukan perilaku seksual yang berisiko, yaitu: melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan pelaku kawin-kontrak dan kawin-cerai.

Laki-laki dengan perilaku nomor (1) jika tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS ke pasangan seksnya. Yang beristri akan menularkan ke istri, ada yang beristri lebih dari satu. Yang tidak beristri akan menularkan ke pasangan seksnya. Istri-istri yang tidak melakukan perilaku berisiko tapi tertular HIV/AIDS dari suami yang perilaku seksnya berisiko. Istri yang tertular HIV/AIDS bisa pula menularkan HIV/AIDS ke ayi yang dikandungnya. 

(2). Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV

(3). Pernah menerima cangkok organ tubuh yang tidak diskirining HIV

(4). Pernah atau sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahguna narkoba

(5). Pernah atau sering memakai jarum suntik dan alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang dipakai bergantian

(6). Pernah atau sering menyusu ke perempuan yang mengidap HIV/AIDS

Jika seseorang yang menunjukkan gejala-gejala yang disebutkan itu tidak pernah melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko, maka gejala itu sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV.

Sebaliknya, tanpa satu gejala pun ada risiko tertular HIV kalau melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas. HIV ada virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang mereplikasi diri. Di dalam darah HIV menjadikan sel-sel darah putih (sel darah putih berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh) sebagai pabrik untuk menggandakan diri. Sel-sel darah putih yang dijadikan 'pabrik' rusak. Virus-virus baru menjadikan sel-sel darah putih lain sebagai 'pabrik'. Begitu seterusnya sampai pada suatu kondisi sistem kekebalan tubuh sangat rendah, disebut masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Di masa AIDS seseorang sangat mudah diserang berbagai macam penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Penyakit-penyakit inilah kemudian yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS.

Maka, bagi siapa saja yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku berisiko di atas sebaiknya segera menjalan tes HIV secara sukarela di Puskesmas atau rumah sakit terdekat. Dengan mengetahui status HIV lebih awal, dokter akan memberikan konseling bagi yang hasil tes HIV negatif agar menjaga perilaku. Sedangkan bagi yang hasil tes HIV positif akan ditangani secara medis dan psikologis oleh dokter dan psikolog.

Sekarang sudah ada obat yaitu obat antiretroviral (ARV) yang bisa menghambat replikasi HIV di dalam darah sehingga kondisi fisik dan kesehatan pengidap HIV/AIDS tetap terjaga dan tetap bisa menjalankan aktivitas kehidupan secara biasa.  

Dengan judul berita seperti di atas sudah jelas berita-berita tsb. tidak membawa perubahan perilaku pada masyarakat. Padahal, salah satu 'vaksin' HIV/AIDS adalah perubahan perilaku berisiko tertular HIV ke perilaku tidak berisiko tertular HIV/AIDS. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun