"Antri .... antri .... semua mau naik KRL." Itulah teriakan security di ujung eskaltor antara jalur 5 dan 6 di Stasiun KA Tanah Abang, Jakatta Pusat, 29/7-2018, pukul 20.00.
Security hanya memaksakan perintahnya tanpa melihat kondi riil. Ketika itu KRL dari Rangkas Bitung masuk di jalur 6. Tentu saja penumpang naik eskaltor di sebelah jalur 5 untuk naik pindah jalur. Sedangkan dari atas calon penumpang KRL yang ada di jalur 6 juga turun melalui eskaltor.
Maka, yang terjadi adalah persilangan penmpang yang mau naik dan penumpang yang turun sehingga saling memotong.
Bagaimana mau antri, Pak Security?
Kalau saja ada rancangan yang komprehensif hal itu tidak akan terjadi. Misalnya, eskalator dan tangga di utara hanya untuk turun, dan eskaltor dan tangga di selatan untuk naik. Perpotongan antrian akan terhindarkan.
Atau penumpang turun daria KRL di jalur 6 naik melalui eskalator di sebelah jalur 6 dan calon penumpang untuk ke KRL di jalur 6 turun melalui eskalator di sisi jalur 5.
Situasi kian runyam karena semua pintu, ada empat tiap gerbong masing-masing di sisi kiri dan kanan, bisa untuk penumpang naik dan turun. Hanya diteriakkan oleh petugas agar mendahulukan penumpang turun. Tentu saja tidak digubris karena semua berebut tempat duduk yang terbatas di tiap gerbong (Baca juga: "Tolong, Saya Lagi Hamil!")
Kalau saja diatur dua pintu tengah untuk turun dan dua pintu di lain di ujung untuk naik tentulah bisa dihindarkan tubrukan antara penumpang yang turun dan penumpang yang memaksa naik.
Yang tidak masuk akal eskaltor pun didegradasi. Sebelah kiri untuk yang diam mengikuti putaran eskalator dan di kanan untuk yang berlari. Ini jelas merusak sistem. Silakan yang mau lari atau lompat dengan menydiakan matras di peron memilih tangga.
Langkah konyol itu saja saja dengan yang dilakukan polisi lalu lintas yang memberikan aba-aba bagi kendaraan bermotor dan arah lampu hijau ke kunung lebih cepat. Akibatnya, terjadi kemacetan di perempatan. Kalau saja kendaraan dari arah lampu hijau mulai berhenti saat lampu kuning dan dari arah lampu merah mulai jalan tentulah tidak ada kemacetan di perempatan.
Di Manila, Filipina, misalnya, tidak ada lampu lalu lintas dan polisi tapi tidak pernah macet karena ada kotak dengan garis kuning. Jika kendaraan di depan macet dan masih ada di dalam kotak kuning kendaraan di belakangnya langsung berhenti di luar kotak kuning. Kendaraan dari arah lain bergerak. Begitu seterusnya.
Tampaknya, pengaturan di Sta KA Tanah Abang tanpa rekayasa dengan pijakan studi.
Di gerbong persoalan juga tidak sedikit. "Mengapa laki-laki diusir dari gerbong perempuan, harusnya perempuan juga diusir dari gerbong laki-laki," kata seorang laki-laki di KRL Tanah Abang-Bogor dengan lantang. Rupanya, laki-laki ini berpijak pada cara berpikir yang bias gender.
Tentu saja tidak ada gerbong khusus laki-laki. Yang ada adalah gerbong pertama dan terakhir pada setiap rangkaian KA dikhususkan untuk wanit (perempuan). Gerbong yang lain untuk laki-laki dan perempuan.
Tempat duduk prioritas ini juga sering dipakai oleh yang tidak berhak, tapi mereka pura-pura tidur atau sibuk dengan ponsel.
Yang paling tidak masuk akal sering terjadi penumpang berbadan besar selalu berdiri di dekat pintu dan menghalangi penumpang yang akan turun. Tapi, ini tidak pernah ditegur security KRL.
Ketika turun di stasiun persoalan muncul lagi karena dari bawah calong pnumpang merangsak naik di semua pintu gerbong. Kalau saja dua pintu tengah untuk turun dan dua pintu di sisi lain untuk naik tentulah aka lebih nyaman. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H