Edukasi kesehatan, kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerdilan (stunting) disebut oleh Menkes Nila F Moeloek dimulai dari hulu yaitu di SMA/SMK (antaranews.com, 17/7-2018). Persoalannya kemudian adalah tingkat pengetahuan tentang kesehatan dan kemiskinan serta kendali suami dalam perkawinan.
Data Kementerian Kesehatan RI menunukkan sekitar 37 persen atau 9 juta anak balita Indonesia mengalami kekerdilan (antaranews.com, 5/7-2018).
Jika bertolak dari pernyataan Menkes itu, maka edukasi dan sosialisasi dilakukan bagi pelajar atau siswa/siswi di tingkat SMA/SMK.
Masalah besar yang dihadapi adalah, apakah edukasi dan sosialisasi bagi siswa/siswi SMA/SMK menyeluruh di seluruh Nusantara?
Jika tidak, maka itu artinya risiko anak lahir dengan kekerdilan tetap besar. Kondisi ini kian runyam karena angka tingkat partisipasi perempuan di dunia pendidikan di bawah laki-laki. Maka, jumlah anak perempuan yang menerima sosialisasi dan edukasi tambah sedikit lagi. Lebih runyam lagi karena ada pula angka putus sekolah pada SMP anak perempuan.
Tidak jelas apakah langkah Kemenkes itu juga menyentuh aliyah karena sekolah ini di bawah Kementerian Agama.
Kemiskinan yang dijadikan alasan tidak sepenuhnya benar karena rata-rata suami merokok. Setiap hari bisa dua sampai tiga bungkus dengan harga Rp 12.000/bungkus sehingga ada uang terbuang Rp 36.000 setiap hari. Uang sebesar ini tentulah bisa untuk membeli makanan yang mengandung karbohidrat, vitamin, dll.
Celakanya, masyarakat tidak sepenuhnya memahami gizi. Terminologi 'kurang gizi' seakan-akan gizi itu adalah makanan sehingga bisa dibeli (Baca juga: "Kurang Gizi" Itu Terminologi yang Tidak Merakyat).
Seorang peneliti di salah satau perguruan tinggi negeri di Jakarta memaparkan fakta yang membuat kepala bergeleng-geleng. Di salah satu provinsi di Pulau Jawa warga memelihara ayam. Mereka bukan memasak telur sebagai lauk, tapi telur dibawa ke pasar untuk dijual. Hasil penjualan dipakai membeli ikan asin. Maka, angka pengidap darah tinggi pun besar di provinsi itu.
Dalam kaitan itulah perlu rekayasa sosial untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan. Persoalannya adalah sejak Orde Baru banyak kata yang dipolitisir, termasuk rekayasa, sehingga lain maknanya.
Dari Gambar 1 bisa dilihat perempuan yang hamil bisa saja putus sekolah di tingkat SD dan SMP sehingga mereka tidak menerima edukasi dan sosialisasi tentang kesehatan karena tidak sempat mengenyam pendidikan di tingkat SMA/SMK. Sebagian lagi siswi Aliyah yang juga tidak jelas apakah menerima sosialisasi dan edukasi kesehatan terkait dengan kekerdilan.
Itu artinya risiko anak lahir dengan kondisi buruk tetap besar. Selanjutnya pola asuh, pemberian ASI (air susu ibu), pola makan, dll. selama 2 tahun pertama, disebut 'masa emas', akan menentukan apakah kelak anak itu mengalami kekerdilan atau tidak (Baca juga: Kecukupan Nutrisi pada "1000 Hari Pertama Kehidupan" Cegah Stunting).
Disebutkan pula oleh Menkes: Masalah kekerdilan atau stunting dikarenakan kurang gizi kronik yang dimulai sejak remaja putri menderita anemia, kurang mendapat asupan gizi saat sebelum menikah dan mengandung, hingga tidak tercukupinya asupan gizi saat bayi dilahirkan hingga usia dua tahun (antaranews.com, 17/7-2018).
Pertanyaannya adalah: Apakah seorang ibu yang semasa remaja tidak kurang gizi otomatis akan bisa melahirkan dan mengasuh anak yang tidak kerdil?
Tentu saja tidak karena persoalan utama justru terjadi di masa kehamilan dan pengasuhan selama dua tahun sejak dilahirkan.
Diseburtkan pula: Staf pengelola UKS Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo M Aris mengungkapkan evaluasi dari penerapan rapor kesehatan menemukan banyaknya kasus anemia pada siswa SMA (antaranews.com, 17/7-2018).
Sayang, staf pengelola UKS itu tidak mencaritahu mengapa banyak siswi yang anemia. Jangan-jangan itu terjadi karena ada mitos kalau gemuk akan mempengaruhi hubungan seksual (Baca juga: Tidak Ada Kaitannya Antara Makan Nanas dan Timun dengan Kondisi Hubungan Seksual). Akibatnya, remaja putri menjalani diet agar tidak gemuk.
Jika Kemenkes dan instasi lain hanya melakukan sosialisasi dan edukasi kepada siswa-siswi SMA/SMK itu artinya jauh lebih banyak perempuan yang berisiko melahirkan anak yang berpotensi kekerdilan. Mereka adalah perempuan yang tidak mengenyam SMA/SMK dan perempuan yang dikuasai oleh partiarki dalam kehidupan berumah tangga.
Maka, selain sosialisasi dan edukasi langkah yang tepat adalah melakukan intervensi terhadap perempuan-perempuan hamil terkait dengan risiko kekerdilan tidak semata hanya menimbang dan mengukur badan bayi serta memberikan makanan tambahan setiap kali ke posyandu. *
*Jakal Km 5.5, Yogyakarta, 18/7-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H