Operasi pencarian korban KM Sinar Bangun yang tenggelam di perairan Danau Toba, Sumatera Utara (18/6-2018) sudah dihentikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun, ada satu hal yang luput dari perhatian yaitu: Tidak ada sinyal "SOS" dari KM Sinar Bangun ketika kapal itu menghadapi angin kencang dan hantaman ombak sebelum tenggelam.
Pengiriman sinyal "SOS" Â sangat erat kaitannya dengan regulasi keselamatan pelayaran dunia. Pertanyaannya adalah: Apakah ada alat komunikasi standar pelayaran di KM Sinar Bangun?
Bertolak dari kasus KM Sinar Bangun patut juga dipertanyakan kepada Kementerian Perhubungan RI: Apakah semua perahu bermotor dan kapal komersial yang berlayar di perairan sungai, dam, waduk, bendungan, danau, dan laut di Indoensia mempunyai radio komunikasi standar dengan markonis (ABK yang menangani radio komuniasi di kapal) yang memegang sertifikat?
Secara de jure mungkin saja ada ketentuan, tapi secara de facto tidak semua perahu bermotor dan kapal komersial yang belayar di perairan Nusantara dilengkapi dengan radio komunikasi yang sesuai dengan standar pelayaran.
Apakah radio komunikasi dan markosis bersertifikat jadi persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi kapal dan izin belayar?
Dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan Pertolongan disahkan tanggal 16 Oktober 2014 yang diteken oleh Presiden Dr H Susilo Bambang Yudhoyono di Pasal 63 Â ayat (1) huruf b disebutkan: Dalam menyelenggarakan sistem komunikasi nakhoda wajib memberitahukan adanya berita atau sinyal darurat Kecelakaan kepada syahbandar, petugas stasiun radio pantai, atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
Selanjutnya di Pasal 64 disebutkan: Pilot, nakhoda, personel pelayanan lalu lintas Penerbangan, dan petugas stasiun radio pantai yang tidak memberitahukan  berita dan/atau sinyal darurat Kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kecelakaan KMP (kapal motor penyeberangan) Maju Lestari di perairan Selayar, Bulukumba, Sulawesi Selatan (3/7-2018, pukul 14.30 WITA) juga dipertanyakan: Apakah markonis kapal penyebarangan itu mengirimkan sinyal "SOS" Â ketika kapal kandas atau ketika ada kebocoran di lambung kapal?
Dalam dunia pelayaran internasional ada ketentuan untuk mengirim informasi melalui radio komunikasi setiap kapal yang sedang berlayar ke syahbandar atau otoritas pelabuhan. Sinyal ini juga bisa didengar kapal yang sedang berlayar dan sandar pada jangkauan sinyal. Pengiriman informasi dilakukan secara rutin setiap pukul 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00, 21.00, 24.00, 03.00 dst.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah semua perahu bermotor dan kapal berbendara Indonesia yang berlayar di perairan dam, waduk, bendungan, sungai, danau dan laut di wilayah Nusantara mengirim informasi dari kapal pada jam-jam tersebut?
Kalau saja kecelakaan angkutan danau, sungai, laut dan penyeberangan yang terjadi di wilayah Nusantara mengirimkan sinyal "SOS" Â tentulah penyelamatan akan jauh lebih efektif karena langsung didengar oleh kapal yang sedang berlayar atau sandar di sekitar kapal laut yang mengalami kecelakaan.
Apalagi angkutan laut taat asas mengirim informasi secara rutin tiap tiga jam tentang posisi kapal setiap tiga jam tentulah lebih mudah didekati dan dicari oleh kapal-kapal lain dan tim SAR.
Kode "SOS"  berupa sinyal Morse diidentifikasi sebagai  Save Our Ship, Save Our Souls, Survivors On Ship, Save Our Sailors, Stop Other Signals, dan Send Out Sailors. Sinyal Morse ini merupakan panggilan darurat ketika kapal mengalami kecelakaan dalam pelayaran.
Sinyal "SOS" adalah kode Morse, lebih dikenal sebagai telegram, berupa * * * - - - * * * tiga ketukan (S), tiga ketukan panjang (O) dan tiga ketukan (S). Kode ini pertama kali dipakai oleh Jerman pada tanggal 1 April 1905 yang kemudian diadopri secara internasional sebagai standar sinyal bahaya untuk meminta pertolongan pada tanggal 3 November 1906.
Sejalan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, sinyal "SOS" dengan kode Morse dinilai tidak efektif dikirimkan melalui komunikasi radio. Selanjutnya dipakai sinyal tanda bahaya dengan menyebutkan Mayday (kata ini berasal dari bahasa Perancis m'aidez yang artinya tolong aku). Kata ini diulang beruntun tiga kali "mayday mayday mayday" yang menandakan panggilan darurat bahaya untuk meminta pertolongan.
Untuk mencegah penyalahgunaan kata Mayday ada negara yang membuat regulasi berupa tindakan hukum bagi yang menyalahgunakan panggilan darurat tsb. (dari berbagai sumber). *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI