Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kapal Tenggelam di Danau Toba, Fenomena "Budaya Darat" vs "Budaya Air"

20 Juni 2018   08:18 Diperbarui: 21 Juni 2018   00:55 3993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di sebuah kapal yang berlayar di Danau Toba. Penumpang duduk di dek atas. Dengan kondisi seperti ini, apakah keseimbangan kapal terjamin? (Sumber: flickr.com)

Celakanya, pelampung di perahu dan boat yang beroperasi di Waduk Saguling ketika itu hanya satu dua ban dalam mobil. Tentu saja ini tidak akan cukup.

Kita ke Danau Toba. Tidak jelas apakah ada sertifikasi perahu bermotor dan kapal yang mengangkut penumpang di perairan danau itu, berupa: jenis atau tipe mesin penggerak, spesifikasi perahu dan kapal sesuai dengan air tawar, jumlah pelampung di setiap perahu dan kapal, sertifikasi awak perahu dan kapal, dst.

Modifikasi kapal di Danau Toba, apakah ini sesuai dengan spesifikasi kapal air tawar? (Sumber: hetanews.com).
Modifikasi kapal di Danau Toba, apakah ini sesuai dengan spesifikasi kapal air tawar? (Sumber: hetanews.com).
Begitu juga dengan modifikasi kapal, apakah modifikasi itu mememuhi persyaratan laik layar? Modifikasi kapal di Danau Toba layaknya seperti kapal pesiar dengan beberapa lantai, tapi apakah itu sesuai untuk air tawar?

Dengan menambah dek dua sampai tiga lantai, apakah diperhitingkan kesimbangan kapal jika ada gelombang atau angin? Selainitu penumpang kapal selal mimiih di dek atas yang membuat keseimbangan kapal terganggu. Perlu standardisasi bagnungan kapal yang berlayar di Danau Toba.

Bisa saja setelah KM Sinar Bangun tenggelam (18/6-2018) yang membawa duka bagi keluarga 200 penumpang yang hilang instansi terkait baru kelabakan.

Ke mana aje selama ini, Pak Ketua?

Kapal itu berlayar sore hari dari Pelabuhan Simanindo (Samosir) menuju Pelabuhan Tigaras (Simalungun). Sekitar 30 menit setelah berlayar kapal dikabarkan dihantam angin kencang dan gelombang tinggi.

Apakah syahbandar di dua pelabuhan itu tidak mempunyai data prakiraan cuaca? Tidak juelas karena kalau ada data tentulah kapal itu tidak diizinkan berlayar karena prakiraan cuaca bisa mengetahui kondisi cuaca satu atau dua jam ke depan. Angin kencang itu 'kan tidak ujug-ujug datang karena ada tanda yang bisa dipantau.

Selanjutnya, mengapa penumpang tidak memakai pelampung ketika kapal berlayar? Atau, apakah di kapal itu tersedia pelampung sesuai dengan jumlah penumpang?

Pelampung merupakan standar sehingga harus ada di setiap kapal. Tidak ada kaitan antara takut dan pelampung. Takut atau tidak takut pelampung harus dipakai. 

Kok bisa kapal berlayar dengan jumlah penumpang yang melebih kapasitas dan tanpa manifes serta tidak mempunyai pelampung yang cukup?

Dalam kesempatan wawancara dengan Mas Ton ketika itu dia mengatakan bahwa perlu edukasi yang komprehensif kepada masyarakat tentang perbedaan "budaya darat" dan "budaya air" ketika warga bersentuhan dengan transportasi air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun