Hari sudah malam. Akhirnya saya putuskan kembali ke Jakarta. Sebelum naik ke ojek saya sampaikan permintaan kepada-Nya agar Tia tidak jadi korban perbudakan.
Sepanjang perjalanan pikiran saya hanya tertuju kepada Tia. Dia ini sangat rajin dan selalu tepat waktu mengurus susu dan mekanan anak saya. Bahkan, dia menggendong anak saya sambil menyuapi agar porsi makanan habis.
Saya tidak habis pikir ada laki-laki yang tega  memaksa gadis menikah dengan dia hanya karena utang orang tua gadis itu tidak bisa membayar utang kepadanya.
Dalam berbagai kesempatan, seperti peliputan dan pelatihan, saya selalu mendengar keluhan pekerja seks komersial (PSK) yang mengatakan hati mereka menangis ketika, maaf, ditiduri laki-laki dengan imbalan uang. "Kami memang tertawa, Pak, tapi hati kami menangis."
Ya, bisa kita bayangkan. Ada laki-laki yang bau miras. Giginya kuning. Mulut bau. Nafas bau busuk. Badannya bau. Kasar, dll. Itulah yang mereka hadapi tanpa bisa menolak atau memilih siapa laki-laki 'hidung belang' yang bisa mereka 'terima'.
Begitu pula dengan Tia. Gadis semampai kuning langsat berambut panjang itu akan melayani nafsu birahi laki-laki tua yang menguasai dirinya sebagai barter utang keluarganya. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H