Rupanya, Tia sulit ditemui sehingga tukang ojek harus menunggu sampai Tia bisa dia temui. Â
Sebelum saya membaca tulisan itu, saya bertanya kepada tukang ojek: Mengapa Tia tidak bisa lagi kerja?
Tukang ojek hanya mengangkat bahu. Â
Tulisan tangan di selembar kertas buku tulis bergaris itu berbunyi: "Pak saya tidak bisa lagi kerja. Maaf ya Pak."
Akhirnya tukang ojek buka mulut. "Pak, Tia dipaksa kawin!"
Astaga. Saya tidak bisa bayangkan seperti apa perasaan Tia menghadapi kenyataan pahit itu karena ada niatnya untuk sekolah. Saya juga sudah berpikir akan menyekolahkan Tia pada sekolah sore tidak jauh dari rumah di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Rupanya, orang tua Tia menggadaikan sawah, kalau tidak salah ketika itu Rp 3 juta. Utang sudah jatuh tempo tapi keluarga Tia belum bisa kembalikan uang yang dipinjam.
Pendek cerita terjadilah barter: utang dibayar dengan Tia.
"Pak, laki-lakinya sudah tua. Orang kaya di kampung itu. Bininya tiga," kata tukang ojek dengan nada rendah.
Saya periksa dompet, uang saya tidak cukup. Ada kartu kredit tapi ketika itu ATM hanya ada di kota besar.
Saya utus tukang ojek minta waktu dua hari untuk mengembalikan utang keluarga Tia, tapi ditolak oleh calon suami Tia. Semula saya hendak melapor ke pos polisi, tapi saya pikir akan berakibat buruk bagi keluarga Tia.