"Didik (Kepala Kepolisian Resor Kota Depok, Komisaris Besar Didik Sugiarto-pen.) juga membenarkan bahwa pelaku mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual saat dia masih duduk di kelas V SD. Kekerasan seksual itu dilakukan oleh tetangganya."
"Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Dhanang Sasongko yang datang ke Polres untuk melakukan assessment terhadap tersangka mengatakan, Wa mengaku melakukan kekerasan seksual karena didorong oleh perasaan balas dendam dan trauma masa lalu."
Dua pernyataan di atas ada dalam berita Harian Kompas, Jumat (08/06/2018) berjudul Sedikitnya 13 Siswa SD Jadi Korban Guru Paedofil di Depok.
Apakah ada pembuktian secara medis bahwa pelaku, Wa (24), guru bahasa Inggris di SDN Tugu 10 Depok, memang pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk sodomi?
Pembuktian secara medis ini penting karena kalau hanya berdasarkan pengakuan setiap orang bisa saja menyebutkan alasannya melakukan sesuatu
Baca juga: Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual.
Bagaimana nanti kalau ada laki-laki yang menyodomi murid-murid TK, SD, SMP dst. dengan alasan dulu pernah jadi korban sodomi? Apakah ini bisa diterima secara hukum?
Kalaupun benar pelaku kejahatan seksual pernah jadi korban, apakah ada hukum yang membenarkan mereka melakukan balas dendam?
Pernyataan Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Dhanang Sasongko, yang disampaikan ke publik berdasarkan assessment terhadap tersangka jelas tidak bisa dibenarkan karena berpotensi ditiru orang 'calon-calon' pelaku kejahatan seksual lainnya.
Serupa juga dengan alasan bahwa pelaku kejahatan seksual karena atau di bawah pengaruh miras (minuman keras) dan pornografi tidak bisa diterima.
Di Amerika Serikat, misalnya, seorang pengemudi kendaraan bermotor bisa dituntut pembunuhan berencana kalau ada korban yang tewas akibat si "ulah" pengemudi.
Baca juga:Â Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ...."
Maka, orang-orang seperti Wa justru dikatogorikan sebagai pelaku kejahatan seksual berencana sebagai pemberatan bagi hukuman sebagai pelaku.
Yang terjadi justru pelaku diberikan 'panggung" untuk membela kejahatan seksual yang dia lakukan dengan menyalahkan orang lain.
Banyak pertanyaan yang muncul dari pemberian panggung bagi Wa. Misanya, apakah dia disodomi banyak orang? Kalau hanya satu yang menyodomi, mengapa dia menyodomi 13 murid laki-laki di SD tempat dia mengajar?
Itu, mah, bukan balas dendam tapi memanfaatkan kekuasaan yang dia miliki secara telanjang (naked power). Apakah tidak ada tanda-tanda perilaku Wa yang menjalankan aksinya bukan satu dua hari?
Lalu, untuk apa pula Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, harus mempublikasi pernyataan ini, "Ia khawatir korban yang sudah terpapar kekerasan seksual berkali-kali sudah mencapai level kecanduan (adiktif)."
Murid laki-laki itu korban secara sodomi bukan hubungan seks anal secara timbal balik antara Wa dan murid. Anak-anak itu merelakan disodomi karena di bawah paksaan bukan karena keingingan. Bagaimana mungkin mereka kecanduan?
Kalau pernyataan Didik dan Dhanang kelak diikuti oleh 13 murid itu, tak terbayang apa yang (akan) terjadi.
Maka, tolonglah kalau memberikan statement ke publik melalui media massa, media online dan blog sebaiknya memilah informasi yang layak. Atau setidaknya lebih kritis dari setiap permasalahan dan pernyataan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI